Sungguh budaya antri dan bersabar sangat penting untuk diterapkan. Kadang disepelakan atau dianggap remeh oleh masyarakat. Entah harus bagaimana memulainya, mungkin saya hanya bisa mendisiplikan diri sendiri, dan kalaupun sebagai pihak yang terlibat mengatur antrian, sikap tegas sambil memberikan pendidikan rasa-rasanya juga dibutuhkan untuk dilakukan.
Kemarin, menjelang berbuka saya mampir sebentar ke salah satu mini market dekat tempat kerja. Niatnya memang ingin membeli beberapa kebutuhan bulanan dan sekalian mencari buah-buahan dan sayur untuk buka puasa. Setelah keliling-keliling dan mengambil beberapa barang yang dibutuhkan saya pun menuju kasir. Mulailah, mbak kasir menghitung jumlah belanjaan.
Saya baru teringat saat itu ada kebutuhan yang juga perlu dibeli, dan saya melihat barang tersebut ada di etalase kasir. Ada beberapa merek disana dan saya pun membandingkan keduanya dengan bertanya pada mbak kasir. Belum lama saya bicara, tiba-tiba ada ibu-ibu di belakang saya tanpa permisi, tanpa bilang apapun menyerempet maju ke depan kasir dan ngomong dengan nada yang kurang sopan.
“Mbak, saya dulu yah saya buru-buru ini!”. Padahal, di belakang saya juga masih ada antrian pembeli lain yang mengantri untuk bayar. Dengan sopan mbak kasir pun bilang, “Maaf bu ini belanjaan mbak-nya sudah terinput, tidak mungkin dicancel”. Si ibu pun menggurutu marah dan langsung ke belakang untuk mengantri. Saat itu semua kasir penuh dan antrian cukup panjang.
Saat itu saya berpikir, apa susahnya untuk mengantri? Andai kata dia memang buru-buru, apakah dia juga tidak berpikir bahwa orang lain yang mengantri pun juga punya urusan dan keburu-buruan yang lain. Andai kata kepepet, hal darurat yang tidak bisa untuk ditunda lagi, apakah tidak bisa juga dengan sopan mengatakan pada orang yang sedang mengantri dan menjelaskan dengan apa adanya. Bukan dengan cara menyerempet, menyerobot lalu berbicara dengan nada tidak sopan seperti itu.
Saat itu saya pun sedikitnya suudzon dan memberikan penilaian negatif pada sikap ibu yang seperti itu, walaupun saya tidak benar-benar tahu maksud dan apakah ibu tersebut benar-benar dalam keadaan terburu-buru yang darurat?
Lain kejadian, saya pun pernah mengalami hal ini lagi. Tepat sebelum ramadhan, saya menjadi MC di sebuah acara Pemeriksaan dan Penyuluhan Kesehatan Gratis di daerah Pondok Bambu, Jakarta Timur yang diadakan oleh Yayasan tempat saya beraktivitas bekerjasama dengan Puskemas setempat. Saat itu ada sekitar 200 warga yang mendapatkan tiket check kesehatan gratis dan 100 anak-anak dhuaffa yang juga menikmati fasilitas tersebut.
Tidak banyak dokter yang membantu acara ini. Hanya ada 3 dokter untuk para warga yang sudah dewasa dan sepuh, serta 2 dokter untuk anak-anak. Setelah acara ceremonial dilakukan, sebagai MC acara saya pun ikut mengatur jalannya acara kesehatan ini sampai selesai. Saya bertugas memanggil satu per satu nama warga dan anak-anak yang harus masuk ke dalam ruangan. Saya memanggil berdasarkan nomor urut ketika hadir dan melewatnya jika nama yang bersangkutan tidak ada.
Waktu semakin siang, acara pemeriksaan dimulai pukul 10.00 dan ditarget selesai pukul 13.00. banyak ibu-ibu yang menggerutu karena lama tidak dipanggil-panggil, banyak juga yang menanyakan kepada saya kapan mereka akan dipanggil. Saya meminta kesabaran mereka dan juga menunggu sampai waktunya, mengingat jumlah dokter sangat terbatas, dan perlu ketelitian untuk memeriksa, terutama mereka yang memiliki sakit parah.
30 menit berlalu dari pukul 10.00. Satu orang ibu mendekat kepada saya meminta dia untuk dipanggil duluan. Alasannya dia membawa bayi dan bayi tersebut sudah merengek minta pulang. Saya meminta maaf dan menolak untuk ibu tersebut, karena saya pikir ibu-ibu yang lain yang membawa bayi juga pasti akan marah dan meminta duluan juga. Ibu itu marah dan menekan saya untuk memanggil dia masuk sekarang juga. Saya bilang, “Bu, kalau ibu mau duluan nanti ibu-ibu yang lain mau semua sekarang. Dokternya hanya ada 3 bu, ibu duduk aja dulu, itu ada tempat teduh bisa ngadem dulu enak daripada berdiri disini kasian bayinya penuh sesak orang”. Ibu itu marah dan meninggalkan saya.
Tidak lama kemudian, datang lagi ibu yang lain. Tidak jauh berbeda, ibu tersebut minta duluan untuk dipanggil dengan alasan mau pergi. Saya pun kembali menjelaskan dengan alasan yang sama. Dia pun mengatakan, “Mbak duluanin saya. Diem-diem ajam biar yang lain nggak tahu!”. Saya dengan hati kesal yang ditahan kembali menjelaskan dengan alasan yang sama sebagaimana ibu pertama. Tidak lama datang lagi dengan alasan yang tidak jauh berbeda. Kali ini dia bilang “Mbak, ibu lain kan gak kayak saya. Dia kan gak kan pergi dan ga ada urusan!”. Saya lumayan dongkol, karena ibu ini ngototnya bukan main. Dan sampai acara selesai mungkin ada sekitar 20 orang, saya harus menolak permintaan ibu-ibu tersebut dan menyuruhnya bersabar sekaligus menunggu, karena dokter hanya ada 3, dan acara target bisa selesai dhuhur.
Ada satu ibu, yang dia sudah sepuh. Minta duluan karena ceritanya dia sudah tidak kuat diam karena sedang sakit. Memaksa sungguh sangat memaksa. Akhirnya sayapun luluh dan membolehkan. Ketika ibu yang lain tau, mereka langsung protes, marah, dan menggerutu lagi. Saya pun jadi serba salah dan bingung menghadapinya. Itulah dampaknya malah menjadi konflik dan chaos. Semuanya ingin diperlakukan hal yang sama. Padahal perlakuan yang sama dengan adil justru dengan adanya aturan pemanggilan berdasarkan nomor urut kehadiran.
Belum lagi menghadapi ibu-ibu, saya pun harus menghadapi adik-adik kecil yang juga merengek minta duluan. Untungnya adik-adik itu masih kecil, sehingga masih saya bisa ajak main dan mengobrol, serta memberikan sedikit pendidikan untuk antri dan bersabar sambil duduk duduk.
Setelah acara pemeriksaan selesai, para warga dan adik-adik yang diperiksa kesehatannya mendapatkan suplemen gratis juga berupa madu dan satu toples pelastik ukuran yang cukup besar (untuk ukuran kacang ijo) isinya kacang ijo. Untuk membagikannya, saya hanya dibantu beberapa teman saja. Saya meminta mereka baris yang tertib dan teratur, agar saya tidak bingung membagikan, crowded dan terjadi kacang ijo yang tumpah-tumpah, apalagi itu panas.
Mereka sangat sulit mendengarkan saya. Saya minta baris mereka berdesak-desakan dan mau untuk duluan mendapatkannya. Saya benar-benar heran saat itu. Jujur saja rasa kesal itu ada karena betapa susahnya warga-masyarakat ini untuk antri dan bersabar. Padahal, ketika mereka berebut dan berdesak-desakkan, jelas pembagian itu makin lama, karena saya bingung, tambah sesak, dan bukannya makin cepat malah semakin tidak karuan.
Pernah lagi kejadian-kejadian di lampu merah. Saya pernah diklakson orang dengan sangat keras dan berkali-kali karena menghalangi jalannya. Padahal, saat itu lampu masih merah. Memang jalan saat itu sedang kosong belum ada kendaraan yang lewat. Saya heran, kenapa juga orang ini menekan klakson untuk saya. Benar saja, orang itu menerobos lampu merah. Beberapa detik setelah dia menerobos, kemudian mobil berkecepatan tinggi pun lewat. Beruntungnya orang tersebut selamat melintas. Tidak sampai bertabrakan dengan mobil.
Padahal kalau coba berpikir untuk tertib, aturan-aturan itu ada sebetulnya untuk menyelamatkan mereka sendiri. Bayangkan saja adanya aturan lampu merah lalu ditabrak dan dilalaikan, tentunya konsekwensi terbesar akan berefek pada orang yang melanggar tersebut. Andai kata telat beberapa detik, tentunya dia sudah bertabrakan dengan mobil tersebut karena motor dan mobil maju dalam kondisi yang sama-sama kencang
Itu mungkin hanya case yang saya potret dari beberapa kejadian yang saya alami. Betapa sulitnya menerapkan budaya antri dan bersabar. Saya pun tidak tahu, apakah ini budaya yang terjadi hanya di Jakarta saja ataukah masalah global masyarakat saat ini? Yang jelas saya belum banyak menemui kasus ini ketika bekerja di daerah-daerah lain di luar jakarta.
Andai sedikit saja berpikir dan bersabar, antri itu mungkin kesannya terasa lama, apalagi jika jumlah antrian banyak. Tetapi dengan antri, justru disitulah ada ketertiban dan keteraturan. Pihak yang mengatur akan lebih mudah untuk membagikan, mengurutkan, serta tidak pusing karena melihat acak-acakannya orang yang berebut, dan berdesak-desakkan. Andai saja mau membiasakan bersabar, tentu sangat enak, diam, duduk, atau antri berdiri, menunggu panggilan tanpa harus desak-desakkan, yang mengakibatkan celaka atau marah-marah satu orang dengan yang lainnya.
Kalau ingin tidak berdesak-desakkan, mengantri terlalu panjang, sudah tentu berarti berangkat lebih awal, berlomba-lomba mendahului waktu datang orang lain. Hal itu tentu suatu pilihan yang bijak daripada harus memaksa-maksa orang lain, atau juga berdesak-desakkan.
Sama hal-nya seperti orang-orang yang terjebak dalam keadaan macet yang juga sering saya melihatnya. Ada orang-orang yang tidak sabar, hingga akhirnya masuk jalur busway, melawan arus masuk jalur yang bersebrangan, ada yang masuk pedestrian, sampai harus melewati batas jalan yang cukup tinggi dan berbahaya. Akibat dari hal tersebut, bukannya tambah lancar jalan, melainkan malah bertambah macet dan berantakan, karena peraturan jalan menjadi tidak karuan. Semuanya bergerak, berjalan atas dasar keinginan dirinya sendiri, bukan peraturan, atau ketertiban. Padahal ketertiban itu efeknya bukan hanya untuk satu orang, melainkan kepada keseluruhan orang-orang yang terlibat dalam sistem itu.
Sungguh budaya antri dan bersabar sangat penting untuk diterapkan. Kadang disepelakan atau dianggap remeh oleh masyarakat. Entah harus bagaimana memulainya, mungkin saya hanya bisa mendisiplikan diri sendiri, dan kalaupun sebagai pihak yang terlibat mengatur antrian, sikap tegas sambil memberikan pendidikan rasa-rasanya juga dibutuhkan untuk dilakukan.
How about you? Yuk ajak teman-teman, saudara, keluarga, dan lingkungan kita untuk membiasakan hidup dengan mengantri dan bersabar. J
Leave a Reply