Assalammualaikum.
Alhamdulillah, ini kali pertamanya saya mendapat undangan nonton gratis sebuah film yang belum ditampilkan di bioskop untuk umum. Thank you very much for Bank Mandiri dan Kumpulan Emak Blogger KEB yang sudah memberi kesempatannya untuk saya.
Sebelum memasuk tahun 2017, saya sudah sering mendengar dan melihat beberapa trailer tentang film Kartini di Instagram Mas Hanung Bramantyo, Mbak Zaskia Adya Mecca, dan artis-artis lainnya. Penasaran pastinya karena ingin tahu kisah Kartini versi interpretasi Mas Hanung ini seperti apa. Yang jelas, film-film beliau selalu khas gayanya dan selalu bikin penasaran.
Alhamdulillah kesampaianlah akhirnya untuk bisa menonton prescreening film Kartini sebelum 19 April 2017 nanti.
Ada beberapa hal yang saya soroti mengenai Film Kartini ini. Yang jelas ada hal-hal baru yang menjadi pengetahuan saya sekaligus hal-hal lainnya yang saya dapatkan ketika menonton. Film Kartini versi Mas Hanung ini diangkat dari Novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”.
Untuk itu jalan cerita dan kisahnya banyak disadur dari novel Pram. Tapi yang membuat menarik, film Kartini ini sangat berbeda dari film Kartini di tahun 2016 (Surat Cinta Kartini) yang tidak seberapa mengangkat nilai dan historis mendalam dari Kartini. Anemonya di masyarakat pun juga tidak seberapa besar.
Apik Menampilkan Sosio Kultur Jawa di Masa Kartini
Di film kartini, saya bisa menikmati dan merasakan bagaimana sosio kultur dan histori budaya jawa yang sangat kental saat itu. Seakan-akan saya benar-benar berada di masa itu dan melihat langung kondisi budaya, aturan, dan nilai-nilai yang ada. Hal ini karena latar dalam Film benar-benar bisa menghadirkannya secara nyata lewat bangunan yang digunakan, artefak yang ada seperti: ukiran jepara, rumah pendopo, delman, pakaian, bahkan musik jawa yang kental digunakan dari awal hingga akhir film.
Hampir tidak ada musik moderen yang digunakan di film Kartini kecuali saat penutup film (tampilan credit film) yaitu lagu “Memang Kenapa Kalau Aku Perempuan” yang dinyanyikan oleh Melly Guslow dan Gita Gutawa.
Awalnya saya agak kecewa, mengapa lagu Teh Melly dan Gita Gutawa tidak diputar di tengah film saat adegan dramatis supaya lebih bisa menghayati dinamikanya. Tapi setelah dipikir-pikir, memang pas diputar di akhir agar tidak mengganggu latar musik jawa yang konsisten di putar dari awal hingga akhir.
Bagi saya pribadi, latar atau background film adalah hal yang penting. Terkadang kita sulit untuk memahami dan menghayati dinamika film, jika latar dan sosio historis dari cerita tidak bisa ditangkap. Alhamdulillahnya, Mas Hanung begitu apik menampilkan latar dan kultur yang begitu melekat di Jawa pada masa itu.
Bahkan, saya pun juga bisa merasakan bagaimana kultur politik, kekuasaan, adanya orang-orang Belanda yang turut campur dalam pemerintahan atau kehidupan jawa, dan terutama nilai-nilai patriarkis yang begitu kuat. Misalnya, bagaimana posisi bupati dianggap sangat penting, strata keturunan bangsawan yang sangat tinggi, terlihatnya jurang pemisah antara kaum bangsawan dan kaum biasa, serta nilai jawa lainnya seperti khawatirnya para pengukir ketika Kartini meminta mereka untuk membuatkan ukiran berbentuk wayang.
Dari awal film, latar ini sudah bisa saya rasakan. Nah, jika ini sudah ditangkap, selanjutnya pasti tambah fokus, tambah bisa menghayati dinamika film.
Kuatnya Pertentangan Terhadap Patriarkis
Selain kuatnya kultur Jawa yang ditampilkan, inti dari film ini adalah menampilkan pertentangan nilai-nilai patriarkis dengan kesetaraan hak dengan perempuan. Hal ini tentunya yang menjadi titik tolak perjuangan dan tujuan yang ingin dicapai oleh Kartini.
Tetapi, saya pun tidak ingin mengatakan bahwa Kartini adalah seorang Feminist murni karena yang diperjuangkan Kartini bukanlah Perempuan diatas segalanya, menguasai segalanya atau menjadi tujuan tertinggi sehingga merendahkan kaum lelaki.
Yang diperjuangkan oleh Kartini dalam film adalah bagaimana ia memperjuangkan hak yang sama atau setara perempuan dan laki-laki tanpa harus meninggalkan kewanitaannya. Di dalam film masih ada kekhasan wanita dan fitrah-kebiasaan wanita lainnya. Misalnya saja ia tetap menyukai memasak, menikah, tapi dengan pilihan dan orang yang dicintainya, bukan karena paksaan kehendak orang lain.
Yang paling menarik adalah, ada adegan dimana kartini memberikan 4 syarat saat akan dinikahi oleh pria seorang Bupati. Permintaan dan syarat tersebut jelas-jelas menentang kultur dan budaya saat itu. Seperti menghilangkan tradisi mengusap kaki suami saat menikah dan memohon untuk mendukung cita-cita kartini mendirikan sekolah perempuan serta anak-anak miskin.
Menurut saya ini lah khas dari film Mas Hanung. Selalu ada konflik nilai atau budaya yang ingin dipertentangkan untuk memunculkan satu pemikiran atau pandangan yang lain. Diskursus benar-benar terasa.
Film Kartini benar-benar fokus menampilkan dinamika masalah ini sehingga penonton pun dibuat geram dengan tokoh-tokoh yang sangat patriarkis dan merendahkan wanita. Ditambah lagi kultur dimana wanita harus mau dinikahi oleh suami beristri 3, dipingit dari mulai haid pertama hingga ada yang melamarnya, dan lain-lain. Dari sini, tentu berhasil membuat penonton merasakan betul bagaimana perjuangan Kartini dalam meruntuhkan pandangan dan budaya tersebut.
Konflik dalam film Kartini fokus pada bagaimana perjuangan kartini memperjuangkan hak kaum-nya agar setara dengan Laki-laki khususnya dalam memperoleh pendidikan dan berbuat sesuatu untuk masyarakat. Bahkan disana terlihat bagaimana kekhawatiran para kaum lelaki jika wanita mendapatkan hak berpolitik dan turut menguasai daerah. Maka itu, seperti aib dan sesuatu yang memalukan ketika Kartini berbicara di khalayak publik, ingin bersekolah tinggi, dan tulisan-tulisannya diterbitkan.
Tentu saja saya sangat suka, akhirnya tidak ada konflik-konflik yang tidak penting seperti percintaan, pernikahan atau hal-hal lainnya, yang di luar frame konflik antara Patriarkis dan Kesamaan Hak Perempuan.
Misalnya saja bagaimana Kartini berontak saat terpisah dari Ibunya sejak kecil, saat ia menentang ibu tirinya untuk sekolah , saat ia memilih jodohnya, saat ia geram melihat adiknya dipaksa menikah dengan laki-laki sudah beristri, saat ia berinteraksi dengan para noni Belanda, dan saat ia mampu mengembangkan usaha ukiran Jepara dan mampu menghidupkan perekonomiannya. Semuanya dalam frame kesamaan hak perempuan untuk berjuang dan mendapatkan pendidikan yang layak.
Good Job, Mas Hanung!
Sejujurnya saat menonton film ini, rasanya seperti flashback melihat film Wanita Berkalung Sorban yang framenya hampir sama walaupun dalam sosio kultur yang berbeda.
Ada Sentuhan Kecil Tentang Islam di Kartini
Walaupun tidak banyak, sepertinya Mas Hanung memiliki interpretasi bahwa Kartini mendapatkan inspirasi salah satunya dari ayat Al-Quran. Hal ini sebagaimana dalam adegan saat Kartini bertemu dengan seorang Khiyai dan merasa sangat bahagia juga penasaran terhadap apa yang disampaikan oleh Islam dalam Al-Quran. Termasuk soal Ilmu dan hak mendapatkannya.
Walau hanya sekilas, menurut saya ini juga menjadi penting. Bahwa Kartini adalah sosok yang bukan hanya gadis yang dipengaruhi nilai jawa namun ada sentuhan islam disana.
Menampilkan Alur yang Mendetil
Alur yang dibawakan dalam film ini adalah alur campuran. Menurut saya Film Kartini berhasil membawakan penonton bisa menghayati secara mendetail kisah di dalamnya. Sesekali, kita diajak berimajinasi seakan-akan apa yang ada di pikiran, bacaan, dan tulisan kartini benar-benar terjadi. Film ini membawa kita ke detail apa yang menjadi inspirasi dan pikiran Kartini.
Lagi-lagi saya harus bilang, Film Kartini berhasil membawa saya bukan hanya pada masa Kartini, melainkan masuk lebih dalam ke alam pikiran serta kegelisahan Kartini.
Misalnya saja adegan saat Kartini membaca surat korespondensi dari Stella temannya di Belanda yang seorang Feminist, saat membaca buku-buku tentang wanita-wanita berpengaruh di Belanda, benar-benar seperti adegan yang nyata.
Acting Para Pemain yang Alamiah dan Penuh Penjiwaan
Yang paling saya apresiasi lagi adalah tentang para pemain dalam film yang benar-benar penuh penjiwaan dan alamiah terlebih kepada beberapa pemain senior seperti Christine Hakim (Berperan sebagai Ngasirah, Ibu Kandung Kartini), Deddy Sutomo (Raden Mas Aryo Sosroningrat, Ayah Kartini), dan Djenar Maesa Ayu (ibu tiri Kartini).
Christine Hakim berhasil menjadi seorang Ibu yang harus menjadi pembatu di keluarga atau kekuasaan suaminya sendiri. Perannya sangat alamiah dan benar-benar terlihat ketulusannya sebagai ibu yang ikhlas mendapatkan nasib seperti itu demi anak-anaknya. Selain itu, peran Djenar Measa Ayu juga sangat bagus sekali. Ia berhasil menjadi seorang ibu yang dingin, ketus, dan merasa tertekan akibat sosio kultur dan keterpaksaannya menjadi seorang istri kedua dari Raden Mas Aryo Sosroningrat.
Dian Sastro sebagai pemeran utama menurut saya ada beberapa hal yang menjadi catatan tersendiri. Dalam aktingnya sebagai Kartini Dian menurut saya masih terkesan ada gaya-gaya moderen masa kekinian. Seperti saat ia mengajarkan adik-adiknya melawan kultur dengan tertawa terbahak, gaya yang sedikit agak maskulin, dan cara berbicara yang kadang lepas dari kultur jawa. Padahal frame film masih kental dengan kultur jawa itu sendiri. Dan menurut saya pribadi, acting Dian Sastro masih kurang alamiah dan mengalir. Masih terkesan dibuat-buat dan belum masuk sebagai putri jawa.
Saya malah berpikir Acha Septriasa justru lebih cocok dan lebih mampu menghayati perannya walaupun bukan sebagai pemeran utama sebagaimana Kartini.
But, so far saya suka dengan semua pemainnya. Apalagi semua pemain adalah pemain-pemain hebat negeri ini. Tentu saja film Kartini menjadi lebih apik dan hebat didukung oleh semua aktor ini. Dan untuk Mas Hanung, ini film yang paling saya sukai diantara film-film lainnya yang pernah dibuat.
Terimakasih sudah membawa saya ke masa sejarah 200 tahun yang silam. Nampaknya film-film seperti ini harus sering-sering diangkat ke layar lebar. Walaupun Film Kartini menurut Mas Hanung adalah merupakan interpretasinya, menurut saya itu ungkapan yang objektif. Sejauh itu diutarakan, tentu sebagai penonton kita juga boleh memiliki interpretasi dan mencari sejarah pembanding untuk memperkuat khazanah kebangsaan kita.
Terimakasih, Sukses Selalau Film-Film Indonesia!
Vita Pusvitasari says
Wah bagus nih filmnya gak sabar nonton nih ?
Finastri Annisa says
Selamat nonton mbak 🙂
Oline says
Wahh kmrn pas nobar kita gak ketemu ya.
Finastri Annisa says
Hehehe, sepertinya aku liat dirimu mbak. Tapi samar-samar hehehe. Biasa ama cewek-cewek jadi nggak ngeh sekitaran deh hehe
nur rochma says
Akupun penasaran pengen nonton filmnya. Review yang menarik dan detail. Suka.
Finastri Annisa says
Terimakasih. Selamat nonton dan antri tiket mbak hehehe.
nur rochma says
Review yang menarik dan detail. Suka. Ingin nonton filmnya.
Finastri Annisa says
Selamat nonton dan antri tiker mbak….bagus kok filmnya. 🙂
sinta says
ah sepertinya menarik filmnya..
review yang bagus mba 🙂
Uwien Budi says
Review ini berhasil membuat saya pengen nonton film Kartini versi Hanung.
Makasih mbak.
Hastira says
makasih infonya, belum nonton sih
Akarui Cha says
Aihhh … saya belum punya kesempatan untuk menonton film ini. Setelah membaca rreview mba ini, saya pun makin penasaran.
syamsul says
Membaca interpretasi diatas, ada yang menggelitik dalam menilai peran Dian Sastro sebagai Kartini. Sah sah saja memberikan penilaian tersebut.
Saya mencermatinya hampir semua tokoh, dalam bertutur dgn logat jawa hampir tdk ada yg aksennya persis, medoknya beda saja dgn yg asli jawa dan biasa bertutur dgn bahasa jawa.
Dian sastro, saya nilai sukses membawakan tokoh kartini secara keseluruhan,dan luar biasa penjiwaannya, dan tentu bukan hal mudah menjadi sosok kartini.
Ini film apik utk ditonton, dan bisa menjadi tuntunan.
Mas hanung kami tunggu kelanjutannya, kartini dan kehidupannya di rembang.
Mantabzzz!!!