Beberapa waktu lalu (8 Oktober 2016) di tanggal saya mengikuti kegiatan IP Fesr 2016 , sebagaimana yang telah saya review di posting sebelumnya. Sebelumnya mohon maaf karena posting ini termasuk posting yang terlambat akibat kesibukan lainnya.
Di review kali ini saya ingin berbagi tentang hal-hal yang saya dapatkan saat mengikuti salah satu sesi seminar di IP Fest kemarin yaitu dengan Judul Membangun Filantropi Keagamaan yang Strategis dan Inklusif. Tidak semuanya saya ikuti, untuk itu review ini hanya untuk seminar yang syaa ikuti saja. Beberapa Lembaga/Organisasi filantropi sempat menjadi pembicara dan membagi hal-hal yang menarik untuk diketahui oleh pegiat sosial. Sebelumnya mohon maaf atas keterbatasan review yang saya bagi ya.
Topik kali ini disampaikan langsung oleh 3 orang aktivis dan pengelola lembaga filantropi yang berbasis pada agamanya masing-masing. Diantaranya adalah Bapak Suriadi dari Yayasan Budha Tsu Tji, Tommy dari PKPU lembaga filantopi berbasis islam, dan James Tumbuan dari Habitat for Humanity yang berbasis agama kristen. Tentunya ini hal menarik dimana mereka membicarakan persoalan yang sama yaitu sosial dan kemanusiaan dalam satu ruang yang sama.
- PKPU – Pos Keadilan Peduli Ummat
PKPU adalah salah satu lembaga sosial kemanusiaan yang digerakkan awalnya oleh pemuda-pemuda islam sejak tahun 90-an. Awalnya lembaga ini, menurut Tommy (Program Director di PKPU) masih terkesan tradisional, mencari dana dengan keliling rumah sambil menggunakan peci. Namun hal ini berubah pasca kejadian Tsunami Aceh dan dibantu oleh seorang profesor. Tentu sangat berbeda sebagaimana hari ini bisa kita simak kiprah dan profesionalitas dari PKPU untuk ummat.
PKPU digerakkan oleh Aktivis Mahasiswa yang pada dasarnya adalah para mahasiswa aktivis kampus di BEM ataupun himpunan. Menurut Tommy, pada mulanya mereka tidak berpikir panjang soal PKPU yang ada hanya melaksanakan dan jika salah baru membenahi. Istilahnya Nabrak dulu baru dibenerin.
Dalam pengelolaan lembaga mereka menggunakan sistem manajemen Balanced Score Card yang dimana aspek mendasar dari manajemen adalah customer. Walaupun bukan perusahaan profit, PKPU memiliki customer yaitu para penerima manfaat dan donor. Aspek kedua barulah aspek finansial yang didapatkan melalui dana ummat zakat, infaq, atau shodaqoh atau dana halal lainnya lewat kerjasama dengan mitra. Mengapa aspek customer menjadi satu? Tommy mengatakan bahwa prinsip dari lembaga filantropi – dalam hal ini adalah lembaga zakat, yang dicari dan didapatkan sebanyak-banyaknya adalah penerima manfaat. Tujuannya bukan mendapatkan funding sebanyak-banyaknya melainkan sesuai dengan kebutuhan dan juga penerima manfaat yang membutuhkan. Walaupun memang dengan dana sebanyak-banyaknya dapat memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pula, namun ini menjadi prinsip lembaga.
Selain itu, bentuk inklusifitas PKPU pengalaman KPU bekerja sama dalam beberapa program dengan Habitat Humanity yang mayoritas digerakkan oleh orang-orang dari agama kristen. PKPU pun memberikan bantuan tersebut di gereja. Hal ini sebagai bentu kolaborasi PKPU dalam hal kemanusiaan, sosial, dan kebencanaan.
Program-program yang dicanangkan oleh PKPU untu saat ini seperti program klaster budaya, disaster risk management, perlindingan anak dan 5418 anak sudah terbantu. Hingga saat ini PKPU sangat aktif terlibat di dalam masalah-masalah tanggap bencana, kemiskinan, pendidikan yang tentu dilaksanakan dengan upaya-upaya yang profesional dengan semangat kemanusiaan – rahmatan lil alamin bagi umat.
- Yayasan Budha Tsu Tji
Disampaikan oleh Bapak Suriyadi, Yayasan Budha Tsu Yji adalah organisasi sosial kemanusiaan yang pada awalnya digerakkan oleh sekelompok budhis. Mereka memiliki tokoh sentral yang menjadi penggerak utama yayasan ini eksis. Luar biasanya Budha Tsu Tji menganut sistem keorganisasian yang 100% untuk charity. Tidak ada satupun volunteer ataupun pengurus di dalamnya menerima dana dari charity atau fundrising mereka.
Di dalamnya mereka pun menerapkan sistem fundrising seperti MLM. Setiap orang pengurus atau volunteer berkewajiban untuk menyebarkan dan mengajak orang-orang yang dikenalnya untuk memberikan sumbangsih kepada Budha Tsu Tji sehingga persebaran mereka cepat dan meluas. Mereka yang menjadi pengurus dan volunteer pun bukan hanya menjadi pengurus namun juga sebagai donatur. Hingga hari ini mereka memiliki 500ribu donatur bulanan dan 420ribu donatur dari koin cinta kasih yang dibuka setiap 3 bulan satu kali.
Dengan semangat humanisme yang dibawa oleh Budha Tsu Tji kontribusi sosial mereka di Indonesia cukup banyak. Hal-hal tersebut diantaranya adalah Perumahan Cinta Kasih Tsu Tji , Program berbenah kampung untuk 1100 keluarga yang dibantu. Ada pula perumahan cinta kasih di cengkareng yang merupakan perumahan khusus mereka yang tidak mampu dan terdapat 1100 keluarga tidak mampu yang dibantu di perumahan tersebut. Diantara 1100 keluarga yang tinggal di daerah tersebut, 70% nya adalah mengidap penyakit TBC dan Buta Huruf.
Menariknya lagi Budha Tsu Tji pernah membantu pesantren islam di daerah Parung dan membangun 2 sekolah umum di pantai indah kapuk. Bantuan mereka sudah tidak memandang suku ataupun agama, yang penting adalah berarti dan membantu masyarakat yang tidak berdaya.
Membangun Peradaban Bangsa adalah Tugas Setiap Orang
Irfan Abu Bakar, Direktur dan Peneliti di CSRC UIN Jakarta, moderator untuk sesi ini, mengatakan bahwa ia sempat mengkritisi umat islam yang selalu berbicara mengenai konsep islam rahmatan lil alamin namun minim aksi dan penggerakan. Namun, ia melihat bahwa dengan (salah satunya) adanya PKPU, ia mampu melihat citra islam yang lebih inklusif, tidak menutup diri atau eksklusif, dan lebih terpancar kerahmatan lil alaminnya dengan apa yang dilakukan.
Di dunia yang semuanya serba global ini tentu saja membangun peradaban tidak bisa dimonopoli oleh salah satu pihak saja, melainkan ini tugas semua manusia dengan apapun agama atau suku bangsanya. Kemiskinan, minimnya moralitas, bencana alam, dan masalah lainnya di Indonesia bahkan di dunia tidak akan pernah selesai tanpa adanya kolaborasi dan kerjasama yang baik antar ummat, bahkan antar agama. Jika berbicara sosial dan kemanusiaan tentunya hal ini dapat menjadi satu titik dalam ruang yang sama. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan pernah selesai andai sisi eksklusifitas tersebut masih kuat berada pada lembaga.
Lembaga-lembaga yang tradisional, masih berasa kesan eksklusifitasnya tentu sudah mulai harus membuka diri agar segera berkolaborasi dan tentu berlomba-lomba untuk menebar kebaikan. Semakin lama masalah masyarakat tentunya semakin banyak, mengerjakannya sendiri tentu memperlambat lahirnya perubahan.
Semoga, Indonesia semakin kaya dengan orang-orang atau komunitas atau lembaga yang bergerak dalam bidang sosial kemanusiaan – filantropi, agar masalah bangsa dapat terselesaikan dan Indonesia dapat berkiprah di bidang yang lebih global. Aamiin.
Leave a Reply