Orang yang hidup dengan bergelimpangan harta tentunya sangat banyak sekali di negeri ini. Akan tetapi, orang yang banyak harta dan memberikan sebanyak-banyaknya untuk manfaat sosial dan keummatan yang lebih besar, belum tentu sebanyak itu.
Namun, di zaman Rasulullah dulu, ada sahabat yang begitu luar biasanya memberikan harta untuk islam dan untuk masyarakat. Saudagar kaya, dermawan, namun tetap rendah hati. Siapakah dia?
Kekeringan di Madinah
Kisah ini terjadi ketika Rasulullah berada di Madinah. Ketika itu, Madinah dalam kondisi yang sangat kesulitan air, musim yang kekeringan, sehingga mempengaruhi orang-orang yag tinggal disana. Para kaum muhajirin yang ikut hijrah bersama Rasulullah ke Madinah terbiasa minum dengan air zam-zam yang ada di Mekkah.
Sumber air yang masih bersisa adalah sumur milik seorang Yahudi yang disebut dengan sumur Raumah. Rasa dari sumur tersebut mirip sebagaimana sumur zam-zam yang ada di Mekkah. Untuk mendapatkannya, terpaksa kaum muslimin bersama penduduk madinah harus antri membeli air bersih dari seorang Yahudi tersebut. Tidak banyak yang bisa dibeli, tentu saja pembelian air tersebut terbatas dan harus mengeluarkan uang yang cukup banyak agar bisa mendapatkannya.
Melihat kondisi tersebut, Rasulullah merasa prihatin dan Rasul pun menyampaikan, “Wahai Sahabatku, siapa saja di antara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surgaNya Allah Ta’ala” (HR. Muslim)”
Mendengar Rasulullah menyampaikan hal tersebut, tergeraklah seorang sahabat bernama Ustman Bin Affan. Seorang sahabat nabi yang dikenal sebagai saudagar kaya dan berasal keluarga terhormat.
Negosiasi dan Pembelian Sumur Raumah Yahudi
Ustman Bin Affan segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan menawar untuk membeli sumur tersebut dengan harga yang tinggi. Sayangnya, sumur itu tidak ingin dijual oleh Yahudi tersebut. Yahudi mengatakan bahwa dia tidak akan mendapatkan penghasilan setiap harinya jika sumur tersebut di jual.
Lalu, Ustman tidak begitu saja menyerah. Ia pun bernegosiasi dengan Yahudi tersebut, agar ia dapat membeli setengah-nya dari sumur tersebut. Ustman menawar untuk membeli sumur tersebut dengan sistem bergantian hari, yaitu satu hari untuk usman dan satu hari untuk Yahudi tersebut.
Yahudi pun kembali berpikir dan merasa diuntungkan dengan adanya tawaran tersebut. Ia masih dapat menikmati dan menjual sumur, namun mendapatkan juga uang yang besar dari Ustman. Akhirnya Yahudi pun menerima tawaran tersebut.
Setelah pembelian setengah sumur itu dilakukan, Ustman mengumumkan kepada seluruh penduduk Madinah yang hendak mengambil air. Ustman membebaskan sumur tersebut secara gratis kepada seluruh kaum muslimin dan penduduk madinah yang membutuhkannya. Ustman pun mengingatkan agar mereka mengambil air dengan jumlah yang cukup untuk keperluan 2 hari, karena pada esok hari sumur tersebut bukan lagi milik Ustman.
Tentu saja saat itu, kaum muslimin dan penduduk madinah merasa senang dan sangat terbantu sekali dengan digratiskannya air dari Ustman. Mereka pun mengambil air dari sumur tersebut untuk kebutuhannya 2 hari dan esok harinya tidak perlu membeli lagi dengan harga mahal dari Yahudi pemilik sumur esok.
Di keeseokan harinya, Yahudi tersebut mengeluh dikarenakan sumurnya sepi oleh pembeli. Penduduk madinah dan kaum muslimin saat itu masih memiliki persediaan air di rumahnya masing-masing. Yahudi penuh keheranan, lalu ia bertanya kepada Ustman.
“Wahai Ustman, mengapa sumur ku menjadi sepi hari ini? Apakah kau menjual dengan harga yang murah kepada penduduk madinah sehingga mereka tidak ingin membeli padaku?”
Ustman pun menjawab “Aku menjual-nya sangat mahal, wahai Yahudi. Aku menjualnya kepada Allah”.
Tidak mengerti, Yahudi itu pun meninggalkan Ustman sambil penuh kekesalan.
Hari pun berlanjut, sumur Yahudi itu pun selalu sempi pembeli. Akhirnya ia menawarkan pada Ustman agar membelinya. Ustman setuju dan membeli sumur tersebut dengan harga 20.000 dirham. Akhirnya Sumur itu menjadi milik Ustman.
Setelah dibelinya sumur Raumah itu ole Ustman, Ustman bukan malah menjual air sumur tersebut kepada kaum muslimin dan penduduk madinah. Ustman membebeaskan dan menggratiskan pemakaian sumur tersebut kepada siapapun yang berada di Madinah, termasuk Yahudi pemilik lama sumur tersebut.
Hingga saat ini, sumur tersebut masih bisa dimanfaatkan dan banyak sekali pohon kurma yang tumbuh disana. Apa yang bisa membuat Ustman bin Affan melakukan hal tersebut? Apa yang ada dalam dirinya hingga rela berbuat hal besar seperti itu?
Berpikir Untuk Ummat
Tentu saja tidak mudah untuk menjadi seperti Ustman. Bayangkan saja, di tengah-tengah kekeringan dan musim paceklik di Madinah, ia tidak hanya berpikir untuk dirinya sendiri. Ia memikirkan nasib ummat dan apa yang bisa ia lakukan untuk membantu-nya.
Di zaman seperti sekarang ini, adanya kekurangan, kelangkaan kebutuhan hidup terkadang membuat seseorang berpikir egois, menyelematkan apa yang dimilikinya hanya untuk diri sendiri. Namun ini tidak terjadi dengan Ustman Bin Affan. Loyalitasnya pada ummat membuatnya terdorong untuk memberikan apa yang ia miliki untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya, tanpa ada imbalan material.
Keikhlasan Berkorban
Keikhlasan Ustman sungguh luar biasa. Ia mengeluarkan 20.000 Dirham, tentu bukan jumlah yang sedikit di zaman itu, lalu memberikannya kepada ummat secara gratis. Tentu ini menjadi refleksi bagi saya pribadi, akankah bisa melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan ustman?
Tentunya sungguh ujian yang sangat berat. Harta ada digenggaman lalu kita membebaskannya untuk orang banyak. Jika menuruti hawa nafsu tentu saja ini menjadi godaan, harta punya pribadi yang sangat besar kenapa tidak dinikmati oleh diri sendiri? Akan tetapi Ustman justru malah membebaskannya bagi penduduk yang membutuhkan.
Loyalitas Pada Panggilan Allah
Ustman tak berpikir panjang. Ketika ada panggilan Allah menyerunya, dari apa yang disampaikan Rasulullah, ia pun segera bergerak dan bertindak. Dilakukannya apa yang dapat ia lakukan dengan harta yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa ia sangat memiliki loyalitas kepada nilai-nilai islam dan panggilan Allah.
Hasil dari keikhlasan, pengorbanan dan harta wakaf yang Ustman berikan tentu tidak sia-sia. Manfaatnya tentu akan mengalir terus walau kini Ustman Bin Affan sudah tiada. Hartanya terus menuai manfaat bagi ummat, terlebih pahalanya akan terus mengalir hingga kelak di akhir nanti.
Self Reminder
Kembali membaca kisah ini membuat saya teringat. Apakah selama ini dalam hidup sudah mencantumkan target untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk ummat? Ataukah masih berpikir dan berkutat di permasalahan kebutuhan diri sendiri. Memang, memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri, mempertahankan hidup adalah bagian dari berjuang dalam hidup. Tidak mudah, apalagi dengan jalan yang halal dan ridho Allah.
Akan tetapi, mungkin kita tidak akan pernah sampai pada titik yang sebagaimana telah Ustman lakukan, jika niat dan motivasi untuk berbuat seperti itu saja tidak pernah ada dalam diri ini. Setidaknya, perlahan tapi pasti usaha untuk berbuat yang maslahat dan mengalirkan manfaat haruslah ada.
“Bismillah”.
kania says
makasih sharingnya mba, pengingat bahwa jual beli dg Allah lebih bayk untungnya
Novia Syahidah says
Artikel yang menyentuh, inspiratif. Terimakasih Icha, I like it 🙂
Finastri Annisa says
Amiin. Terimakasih mbak. Semoga bisa selalu istiqomah melahirkan tulisan inspiratif lainnya ?
Finastri Annisa says
Amiin. Terimakasih mbak. Semoga kita bisa selalu istiqomah melahirkan tulisan inspiratif lainnya ?
Anis Khoir says
Kalo bicara sahabat nabi yg satu ini emang kedermawanannya selalu membuat iri muslim lainnya
Finastri Annisa says
Betul mbak. Semoga kita bisa meneladani beliau ya dan para sahanat nabi lainnya. Insya Allah Amiin