Bagaimana pengalaman saya saat suami dinyatakan sebagai Pasien Dalam Pengawasan Corona? Pasien dalam Pengawasan atau PDP adalah kondisi saat seseorang memiliki sebuah gejala seperti batuk, pilek, sesak napas, disertai demam atau sakit lainnya.
Mereka yang dalam kondisi seperti ini harus dirawat dan diisolasi di rumah sakit. Selain PDP, ada juga status sebagai Suspect Corona, jika seseorang tersebut berinteraksi secara aktif atau kontak dekat dengan orang yang sudah dinyatakan positif corona. Sedangkan Orang dalam Pemantauan (ODP), mereka yang baru saja pulang dari luar negeri, khususnya yang mewabah virus corona atau covid-19.
Berikut adalah cerita pengalaman saya, beserta kronologi bagaimana sampai akhirnya suami saya mendapatkan status Pasien dalam Pengawasan Corona.
Liburan di Bali dan Rasa Was-Was
Awal bulan Maret 2020 pandemi virus corona atau covid-19 sudah ramai dibicarakan banyak orang di seluruh dunia. Walaupun di Wuhan dan beberapa wilayah di negara lain sudah banyak yang terinfeksi dan mewabah, Indonesia masih adem ayem aja. Belum ada yang suspect dan belum ada yang positif juga.
Sudah jauh-jauh hari saya dan suami berencana untuk travelling ke luar negeri. Rencananya jalan-jalan di Singapore dan lanjut ke Malaysia. Tapi karena adanya virus ini yang menyebar di berbagai negara, saya dan suami pun mengurungkan niat untuk ke sana. Alhamdulillah, belum pesan tiket ataupun hotel. Suami pun menyarankan kita tetap liburan, tapi di Indonesia saja dan akhirnya kami pun ke Bali. Bulan Maret kami pilih, karena setelah itu sampai nanti Idul Kurban bahkan setelahnya, tidak ada lagi kesempatan karena padatnya jadwal pekerjaan.
Pemerintah menyampaikan saat itu bahwa Bali aman dan tidak diperbolehkan dari Wuhan/China masuk dulu. Tapi sebenarnya, saya pun masih mempertanyakan kebenarannya.
Di Bali, kita liburan seperti biasanya. Namun, kabar mengagetkan saat Senin, 2 Maret 2020 bahwa Indonesia sudah ada yang positif corona sebanyak dua orang dan berdomisili di Depok. Saya dan suami pun agak was-was walaupun tetap tenang dan tidak panik. Untuk berjaga-jaga kami pun memilih banyak diam di hotel, tidak berenang karena di kolam kadang ada banyak bule-bule, dan tentunya menggunakan masker saat di bandara yang banyak orang. Untungnya besok siang kami pun segera pulang ke Jakarta karena jatah liburan sudah habis.
Ada Sedikit Keluhan di Pernapasan dan Check ke Rumah Sakit
4 hari setelah pulang dari Bali, kira-kira di hari Jumat atau Sabtu, 7 atau 8 Maret 2020, suami saya mengeluhkan ada sedikit sesak napas, batuk, dan hidung mampet. Saya pun berusaha positif thinking, apalagi keluhan tersebut tidak disertai demam. Tapi suami saya memutuskan untuk langsung ke IGD Rumah Sakit Aulia Jagakarsa, yang berada dekat dari rumah. Perlu diketahui, RS Aulia Jagakarsa, Jakarta Selatan bukanlah rumah sakit rujukan corona.
Di sana, dokter mencatat berbagai keluhan-keluhan dan masih menganggap suami saya aman hanya batuk biasa. Selain itu dokter juga memberikan obat, vitamin, dan antibiotik untuk dikonsumsi. Dokter menyarankan agar segera kembali ke rumah sakit untuk dironsen dan cek darah, jika tidak kunjung membaik. Karena suami saya menceritakan pernah ke Bali juga dalam seminggu terakhir, ia pun dicatat dokter sebagai Orang Dalam Pengawasan.
Bagaimana dengan kondisi saya? Apakah ada gejala yang sama? Tidak sama sekali. Saat itu, keluhan saya hanyalah sakit maag dan bagian empedu saja yang memang sedang bermasal dari sejak awal bulan lalu.
Hari Senin, 10 Maret 2020, suami saya masih merasa ada batuk, mampet, dan sedikit sesak. Ia pun langsung memutuskan untuk ronsen dan check darah. Walaupun saat itu, suami saya pernah dicatat sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) tapi semua pembayaran ronsen dan check darah menggunakan biaya sendiri dan tidak menggunakan BPJS. Waktu itu kami memutuskan menggunakan biaya sendiri, karena tidak siap dengan berkas-berkas untuk BPJS. Jika mengurus, khawatir lebih lama lagi.
Hasil ronsen dan check darah keluar dalam waktu kurang dari 1 jam. Dokter di IGD pun menjelaskan beberapa hal terkait hasil ronsen dan check darah tersebut kepada suami saya. Penjelasannya, kurang lebih seperti ini:
- Hasil ronsen suami saya baik tidak ada masalah. Tidak teindikasi virus dan tidak pula ada sesuatu yang mengganggu. Hanya saja, sepertinya batuk tersebut ada permasalahan ISPA. Suami saya bukan seorang perokok, tapi saya rasa dia sering berdekatan dengan teman-teman yang merokok. Dokter pun menyarankan untuk tidak dekat-dekat jika ada asap rokok.
- Hasil check darah pun bagus. Dokter menyampaikan bahwa jika ada virus atau gangguan maka luekosit akan cenderung tinggi. Hasil check darah menunjukkan bahwa leukosit pun dalam nilai yang baik atau normal.
Akhirnya, kami pun lega dan merasa bahwa ini permasalahan batuk biasa dan harus banyak istirahat. Suami saya pun bekerja seperti biasa dan mengantar saya ke pasar seperti biasanya untuk belanja mingguan.
Berita Menegangkan: Menteri Perhubungan, Budi Karya Positif Corona
Sabtu, 14 Maret 2020 di malam hari, berita mengejutkan pun datang. Menteri Perhubungan, Bapak Budi Karya dinyatakan positif corona. Saat membaca itu dari berbagai media saya pun tidak panik dan tidak ada rasa was-was sama sekali. Di group-group pun heboh dan banyak yang membagikan rasa paniknya.
Namun dari ruang tengah, saat suami saya menonton televisi, dia pun menyampaikan pada saya bahwa di tanggal 4 Maret 2020, ia bertemu dan kontak erat dengan Pak Budi Karya. Suami saya adalah seorang jurnalis dari salah satu media nasional dan tugasnya adalah melaksanakan liputan di Istana Negara. Saat itu Pak Presiden Jokowi sedang mengadakan rapat terbatas, dan salah satu pesertanya adalah Pak Menhub alias Pak Budi Karya.
Suami saya di tanggal tersebut, sedang liputan dan sempat ngobrol-ngobrol dengan beliau, bahkan foto-foto bersama dengan Pak Budi. Dari situ saya mulai agak sedikit tegang. Tapi jarak waktu bertemu Pak Budi pun sudah berlalu 10 hari. Suami saya tidak ada tanda-tanda demam dan masih bersisa mampet di hidung saja. Sisanya, batuk pun sudah hilang dan membaik. Jadi saya pun berpikiran positif, insya Allah suami saya tidak apa-apa.
Minggu, 15 Maret 2020, suami saya pun memutuskan untuk pergi ke rumah sakit terdekat untuk langsung melakukan test swab. Ia merasa sudah kontak dekat dengan Pak Budi dan mau tidak mau harus melakukan check. Teman-teman wartawan pun banyak yang segera ke rumah sakit, pasca informasi Pak Budi positif corona.
Saat itu, saya juga ingin sebenarnya melakukan test swab. Tapi suami saya menyarankan untuk di rumah saja dulu dan jika ada apa-apa barulah saya juga ikut untuk test. Pagi itu, mendadak banyak informasi bahwa beberapa rumah sakit rujukan ada yang tutup dan salah satunya yang pasti buka adalah di Rumah Sakit Persahabatan.
Namun, suami saya memutuskan untuk ke rumah sakit terdekat lebih dahulu yaitu RSUD Pasar Minggu. Suami saya langsung menuju IGD, menjelaskan semua detil dan kronologis. Tanpa panjang lebar, dokter pun menyatakan bahwa suami saya adalah Pasien dalam Pengawasan. Mengapa sampai diberikan status PDP? Karena ada gejala batuk dan pilek serta sedikit sesak yang membuat ini harus dicurigai. Ditambah suami saya pun menunjukkan foto bersama para wartawan dan Pak Budi Karya selama di istana negara serta berakivitas di sana.
Dokter pun langsung melakukan test swab, ronsen, dan check darah kembali. Walaupun sebenarnya dalam seminggu terakhir, suami saya sudah melakukannya di RS Aulia Jagakarsa, dan hasilnya tidak apa-apa. Setelah itu, dokter dan rumah sakit pun memasukkan suami saya ke dalam ruang isolasi sementara (transit). Saat itu, saya diberi kabar oleh suami saya pukul 13.00 dan ia pun meminta saya langsung ke IGD Pasar Minggu untuk mengurus segala kebutuhan serta membawa barang-barang, karena ada kemungkinan akan diisolasi lebih dari 1 hari.
Masuk ke Ruang Isolasi Pasien dalam Pengawasan Corona
Pukul 13.00 suami saya mulai masuk di ruang isolasi RS Pasar Minggu. Tanpa menunggu lama, saya pun datang pukul 14.00 ke IGD RS Pasar Minggu sambil membawa barang-barang kebutuhan suami jika harus menginap. Sesampainya di rumah sakit, saya pun segera menemui dokter. Saya sampai lupa tidak menanyakan nama dokter yang pertama ini.
Saya : “Dok, bagaimana kondisi suami saya?”
Dokter : “Hasil test swab harus menunggu dulu ya bu kurang lebih 3 hari. Suami ibu ada kondisi batuk, mampet, dan sesak ditambah kontak dekat dengan Pak Budi Karya. Jadi mau tidak mau statusnya adalah Pasien dalam Pengawasan. Kami harus isolasi, tidak boleh kemana-mana dan harus kami rawat”
Saya : “Saya istrinya, dok. Dan apakah saya harus di test swab juga?”
Dokter : “Kalau mbak tidak ada gejala apapun, merasa sehat, tidak perlu mbak. Cukup jaga kesehatan saja. Suami mbak akan dirawat di rumah sakit selama 3 hari. Tapi kami belum tahu, di rumah sakit mana akan di rawat karena ruang rawat isolasi untuk PDP Corona, hingga sekarang full di RS Pasar Minggu”
Dari mulai pukul 14.00 saya pun hanya bisa berkomunikasi via whatsapp call bersama suami saya. Tentu saya tidak bisa masuk dan hanya diam di luar kamar isolasi sambil melihat kondisi di dalam yang berdinding kaca. Kamar isolasi transit atau sementara ini ukurannya tidak besar, kurang lebih 4x4meter, bahkan kurang sepertinya.
Di dalam kamar isolasi saat itu ada sekitar 4 orang pasien. Satu orang pasien wanita, adalah teman wartawan suami saya dari media yang berbeda dan sama-sama kontak dekat dengan Pak Budi Karya di Istana Negara. Satu lagi pasien wanita juga menjadi PDP karena setelah kontak dan pulang dari Jepang. Satunya lagi, adalah seorang bapak paruh baya. Di ruangan tersebut hanya ada 2 bed. Suami saya dan wanita yang baru pulang dari Jepang itu tidak mendapat bed, dan hanya duduk di kursi roda.
Sambil menunggu kepastian, dimana suami saya akan dirawat saya pun mengobrol dengan beberapa orang ibu-ibu. Ibu ini bercerita kalau adiknya (pasien laki-laki paruh baya) sudah dua hari satu malam berada di ruang isolasi tersebut. Tidak ada pengecekan oleh dokter, tidak ada perawatan apapun, hanya diberikan makanan saja dan diinfus. Ibu tersebut juga bercerita, kalau pihak rumah sakit bilang dokter yang memeriksa haruslah dokter specialis paru, dan di weekend, dokter-dokter spesialis libur. Yang ada hanyalah dokter jaga saja di IGD. Saya pun saat itu berpikir, bagaimana bisa dokter spesialis libur sedangkan kondisi saja sudah begitu darurat begini?
Ibu itu pun mengatakan pada saya, “Mbak, suaminya kan wartawan! Bilang dong ini kondisinya di sini seperti apa sama temen-temennya. Biar di liput mbak! Kita gak siap nih ngadepin corona! Saya gak terima, masa anak saya ada di ruang isolasi sementara sudah dari malam. Dan dokter masih bilang belum ada kepastian di mana! Kalau gini caranya saya sih mau cabut aja dari sini, dan langsung ke persahabatan!”.
Ada banyak ibu-ibu di sekitar ruang isolasi IGD tersebut. Dan semuanya mengobrol satu sama lain dan saling panik juga. Jujur saat itu saya hanya bisa diam dan menunggu. Percuma juga panik dan marah-marah, kesal sih tentu ya, tapi kondisinya saat itu benar-benar hectic. Bayangkan saya, dokter IGD hanya ada sedikit. Suster dan pegawai lainnya juga bukan saja mengurus pasien isolasi corona, tapi juga ada pasien-pasien IGD lainnya.
Saya sempat bertanya pada seorang dokter. Dokter kedua ini menggantikan dokter jaga pertama yang sempat menjelaskan kepada saya soal suami saya harus dirawat. Saat itu, saya bertanya tentang hasil lab (ronsen dan darah) suami saya. Wajahnya sangat tidak enak (mungkin dia badmood dan kelelahan), dan berbicara sedikit sinis juga ngegas.
Saya bilang baik-baik, kalau suami saya ada di dalam dan sebagai pasien dalam pengawasan corona. Dan saya ingin mengetahui hasil lab.
Dokter tersebut bilang, “Oh mbak, istirnya bapak Rakhmat yang wartawan k***** ya? Hasil lab nya bagus kok. Gak ada apa-apa, bagus. Tunggu aja dari rumah sakit mindahin perawatannya”.
Entah kenapa setelah saya bilang saya istri dari suami saya, dokter tersebut agark sedikit berjaga-jaga omongannya. Mungkin takut, karena tahu suami saya wartawan. Begitu juga para suster yang saat itu berjaga untuk ruang isolasi. Saya sempat mendengar mereka bisik-bisik dan mengatakan bahwa ada dua wartawan di ruang isolasi tersebut.
Semakin sore, saya pun belum mendapat kepastian apapun. Menjelang magrib ada 3 pasien tambahan masuk ke dalam ruang isolasi. Satu orang laki-laki yang kebetulan juga jurnalis dari media yang sama dengan suami saya, satu orang laki-laki masih agak lebih muda (setelah saya ketahui ternyata dia adalah pemilik akun @fmuchtar_) yang threadnya di twitter sempat viral, dan satu lagi adalah bapak-bapak yang sepertinya usianya sudah hampir 60 tahun lebih.
Tujuh orang berada di ruang isolasi yang kecil. Diantara semuanya dinyatakan PDP dan semuanya belum ada kejelasan, mana yang positif dan tidak. Yang saya dan semua keluarga pasien pikirkan adalah, bagaimana jika yang awalnya tidak apa-apa, malah jadi positif karena berada di ruang tersebut.
Salah seorang bapak dan ibu yang anak wanitanya baru pulang dari Jepang pun, memaksa rumah sakit untuk memulangkan saja anaknya. Awalnya pihak rumah sakit tidak mengizinkan. Namun si Bapak memaksa karena merasa anaknya sehat-sehat saja, kenapa harus sampai diisolasi? Saya pun tidak mengerti kronologinya mengapa ia sampai diisolasi dan ada gejala seperti apa hingga menjadi pasien dalam pengawasan corona. Rumah sakit pun mengizinkan, karena hasil ronsen dan darah mbak tersebut bagus. Namun dengan syarat, harus diisolasi di rumah, tidak boleh kemana-mana dulu, dan orang tua harus menandatangani surat bahwa tidak akan menyalahkan rumah sakit jika ada apa-apa.
Ibu yang adiknya sudah dua hari di dalam ruang isolasi sementara pun bercerita, “Kemarin mbak, ada yang ngamuk. Gedor-gedor kaca, ga mau di dalam. Pengen pulang. Dia juga gitu nasibnya sama kayak adik saya. Dua malam di sini. Gimana ga jadi stress tuh”.
Sampai akhirnya, setelah magrib saya pun dipanggil oleh suster untuk mengurus perawatan suami saya. Akhirnya diputuskan bahwa suami saya dan temannya yang jurnalis perempuan dari media berbeda itu, akan dipindah rawat di RSUP Fatmawati. Sekali lagi saya sangat bersyukur, karena Fatmawati letaknya juga masih dekat dengan rumah saya. Saya masih bisa pulang pergi untuk mengecek kondisi dan mengurus keperluan administrasi.
Setelah itu saya pun diarahkan oleh suster untuk menuju loket SPGDT. Saya diminta berkas-berkas fotocopy lengkap, seperti Kartu Keluarga, Fotocopy KTP Pasien, Fotocopy Kartu BPJS, menulis form dari rumah sakit.
Ibu yang adiknya sudah dua malam di ruang isolasi pun protes ke pihak rumah sakit. “Mengapa dua orang itu yang mendapat kamar duluan? Padahal adiknya sudah 2 hari di ruang isolasi dan belum ada kepastian juga dirawat di mana. Ini gak adil ya, jangan mentang-mentang mereka wartawan terus kalian takut gitu diberitakan!”, ungkap ibu tersebut sambil kesal dan marah berbicara ke para perawat.
Saya pun jujur tidak bisa berkata apa-apa. Karena bingung juga. Namun tidak lama si ibu tersebut bercerita ke saya, akhirnya adiknya akan dipindah ke RSUP Persahabatan. Tapi itu pun inisasi dia sendiri karena kebetulan dia ada kenalan di sana. Untuk pemindahannya pun ia bilang akan menggunakan kendaraan sendiri karena rumah sakit sampai saat itu belum juga memberikan kepastian apapun. Sampai situ, saya tidak tahu lagi bagaimana update si ibu tersebut.
Selesai semua persoalan administrasi di sekitar pukul 19.00, pihak rumah sakit pun menyampaikan untuk saya menunggu Ambulance Gawat Darurat datang. Mobil AGD untuk mengangkut pasien dalam pengawasan corona di Jakarta hanya ada satu dan sangat terbatas. Semua PDP harus diangkut oleh AGD tidak boleh mobil sendiri apalagi kendaraan umum, karena ada protokoler khusus. Sedangkan pasien untuk antar jemput sangat jauh-jauh, sehingga mau tidak mau harus menunggu dan tidak ada yang tahu kapan AGD tersebut datang.
Tulisan pengalaman saya selanjutnya bisa dibaca di SAAT SUAMI SAYA DINYATAKAN SEBAGAI PASIEN DALAM PENGAWASAN CORONA (Bagian-2)
Ya ampun, begini banget ya, jaga kesehatan masing-masing ya, semoga kita terhindar dari virus ini. Aamiin