Cerita yang saya tulis di sini adalah lanjutan dari dari tulisan pertama saya yaitu SAAT SUAMI SAYA DINYATAKAN SEBAGAI PASIEN DALAM PENGAWASAN CORONA. Sebelum membaca ini, kalian bisa membaca dulu tentang kronologi bagaimana suami saya dinyatakan dokter sebagai Pasien dalam Pengawasan (Corona).
Menunggu Ambulance yang Tak Kunjung Datang
Sejak pukul 14.00 saya sudah berada di IGD RSUD Pasar Minggu. Pukul 19.00 saya pun sudah selesai mengurus administrasi rumah sakit. Biaya untuk keseluruhannya, dari RSUD Pasar Minggu menyampaikan bahwa ditanggung oleh Kementrian Kesehatan. Memang setahu saya, masalah Corona ini, pemerintah sudah menjamin dan menggratiskan untuk segala biaya. Walaupun tidak ditanggung pemerintah, saat itu kantor media suami saya sudah berjaga-jaga dan menyampaikan akan menanggung semua kebutuhannya.
Saya mulai gelisah dan sangat lelah saat waktu menunjukkan pukul 22.00. Saat itu saya mulai was-was karena ruang isolasi full dengan PDP. Saya pun mulai berpikiran, apa suami saya pulang saja sebagaimana wanita yang baru pulang dari Jepang itu dan memaksa rumah sakit untuk memulangkan? Saya pun diajak oleh suami dari jurnalis wanita teman suami saya untuk berbicara ke rumah sakit dan pulang saja. Kami tidak mau membiarkan menginap di sini dan bercampur baur di ruang sekecil itu.
Dokter yang berjaga saat itu (Dokter ketiga), sedikit marah dan berbicara dengan nada tinggi. Intinya tidak boleh dan kita harus menerima kekurangan rumah sakit. Saya pun hanya diam dan memasang wajah kesal karena sudah sangat lelah sekali. Saat itu kami pun bingung, apakah benar akan dipindah rawat ke RSUP Fatmawati? Sudah menunggu cukup lama dan tidak ada yang bisa memastikan kedatangan AGD. Tapi tidak ada yang bisa memastikan.
Akhirnya setelah bersabar cukup lama, menahan rasa kesal, dan memahami begitu hecticnya rumah sakit beserta seluruh dokter juga pegawainya, pukul 01.00 dini hari (Senin, 16 Maret), suami saya dipindahkan dari RSUD Pasar Minggu menuju RSUP Fatmawati. Karena mobil AGD hanya ada satu, itu pun bergantian dengan Mbak Jurnalis yang satunya, walaupun sama-sama ke Fatmawati.
Perlu diketahui bahwa, Mobil AGD itu sangat terbatas. Protokolnya ada banyak. Sebelum dan sesudah naik, mobil harus disemprot dulu dengan disinfectan. Harus dipastikan dulu bahwa mobil steril. Satu mobil hanya bisa mengangkut satu pasien dan satu bed sekaligus. Pelaksananya hanya ada dua. Satu driver dan satu yang berjaga di belakang. Itu pun mereka harus meggunakan Alat Pengaman yang super lengkap. Mulai dari masker, sarung tangan, kacamata, baju pelindung putih ditambah plastik luar. Bahkan sepatu yang digunakan pun juga dibungkus dengan pelastik.
Saya pun juga ikut untuk naik mobil AGD, membawa barang-barang, dan bersiap mengurus administrasi di RSUP Fatmawati. Selama di ambulance, saya merasa sangat lelah sekali, mata sudah mulai ingin menutup dan beristirahat. Tapi tidak bisa. Saya harus mendampingi suami saya sampai selesai seluruhnya.
Di Isolasi di RSUP Fatmawati Jakarta Selatan
Kira-kira pukul 01.30 saya sudah berada di RSUP Fatmawati. Suami saya pun langsung masuk ke dalam ruang Isolasi khusus untuk Pasien Dalam Pengawasan Corona. Perawat pun menjelaskan bahwa ruang isolasi PDP berbeda dengan ruang isolasi bagai pasien yang sudah positif sehingga saya tidak perlu khawatir. Ruang isolasi pun juga cukup luas dan besar. Seperti biasa saya hanya bisa melihat suami saya dari luar yang dibatasi oleh pintu dan dinding kaca.
Selesai suami saya masuk ke dalam ruang isolasi, saya pun masih belum bisa untuk pulang. Tadinya saya berencana untuk kembali pulang setelah suami saya aman di ruang isolasi fatmawati. Ternyata saya masih harus mengurus berkas administrasi terlebih dahulu, tanda tangan, dan urusan lainnya. Jangan lupa ya, bagi kalian yang juga mengalami seperti saya, berkas-berkas seperti KTP, Kartu Keluarga, dan Kartu BPJS harus selalu dibawa kemana-mana. Karena pasti saat-saat seperti ini sangat dibutuhkan.
Selesai mengurus berkas, saya masih belum diperbolehkan pulang oleh perawat. Saya masih harus menunggu dokter jaga datang. Awalnya saya menolak karena saya sudah sangat kelelahan berjam-jam di rumah sakit, dan khawatir jatuh sakit. Tapi kembali lagi, perawat bilang saya harus bertemu dulu dokter jaga dan menjelaskan kondisi suami saya. Saat itu dokter jaga (bukan dokter spesialis), masih mengurus pasien-pasien di IGD lainnya.
Di rumah sakit saya pun tidak bisa tidur dan hanya diam di kursi, kadang duduk di lantai. Kebetulan saat itu juga bersama dengan suami mbak jurnalis perempuan yang juga sudah masuk ruang isolasi. Mau ngemil atau makan pun rasanya nggak enak. Jadi saya hanya diam saja menahan lelah sampai pukul 04.30. Dokter pun menanyakan kondisi suami saya pada saya dan meminimalisir interaksi dengan pasien. Pasien hanya diperiksa secara umum saja dan akan diperiksa oleh dokter paru di pagi/siang hari.
Setelah mengobrol dengan dokter pukul 04.30 lebih, saya pun langsung pulang ke rumah menggunakan taksi. Rasanya badan benar-benar lelah, kantuk sudah tidak bisa ditahan, dan seluruh badan rasanya pegal. Sekitar pukul 05.00 seusai shalat subuh, saya langsung tidur pulas dan baru terbangun kembali pukul 09.30.
Kembali ke Rumah Sakit di Siang Hari
Saat terbangun pukul 09.30 saya baru tersadar bahwa rumah sakit menelpon lebih dari 4 kali ke handphone saya. Saya tidak menyadari sama sekali. Pukul 10.00 suami saya menelepon bahwa rumah sakit meminta saya untuk kembali mengurus berkas-berkas maksimal pukul 16.00, karena setelah itu loket khusus untuk pengurusan tersebut tutup.
Saya pun kembali ke rumah sakit untuk mengurusnya. Saat mengurus, saya pun langsung dipanggil oleh bagian Penjaminan Biaya Rawat di RSUP Fatmawati. Saat itu, si bapak pegawai menyampaikan bahwa suami saya ini biaya untuk perawatannya dari mana? Saya bingung sekali saat ditanya seperti itu, karena saat di RSUD Pasar Minggu, tidak ada sama sekali mengenai pertanyaan tersebut.
Bahkan bagian SPGDT RSUD Pasar Minggu menyampaikan bahwa biaya perawatan ditanggung oleh Kemenkes. Saya pun menyampaikan kembali hal tersebut kepada si Bapak. Si Bapak bilang, bahwa ia ditanya oleh atasannya. Saya bilang saja, seharusnya ini kan soal biaya urusan pemerintah dan suami saya dinyatakan PDP oleh rumah sakit. Dinyatakan juga harus isolasi oleh rumah sakit, bukan atas dasar sendiri apalagi pemerintah menyampaikan bahwa biaaya ditanggung semua. Kemudian si bapak pun bingung sendiri dan menyampaikan akan menelepon saya kembali.
Saat itu saya heran dan menceritakan pada suami saya. Betapa alur informasi seperti ini pun juga belum jelas. Padahal suami saya sudah diklaim sebagai PDP. Setelah mengurus itu pun, saya kembali ke ruang isolasi dan menanyakan pada perawat yang jaga apakah saya perlu standby atau ada hal yang diurus lagi? Ternyata tidak, dan saya tinggal menunggu saja.
Akhirnya, Boleh Pulang ke Rumah
Senin, 16 Maret 2020, pukul 21.00 suami saya menelepon dan menyampaikan bahwa ia dan temannya yang juga diisolasi boleh pulang ke rumah. Dokter mengklaim bahwa dari hasil ronsen dan darah, tidak ada persoalan dan tidak mengarah pada corona. Namun, sebagai antisipasi dokter meingistruksikan agar suami saya diisolasi mandiri di rumah selama dua minggu sambil menunggu kepastian dari hasil test swab. Tidak boleh kemana-mana dan harus beristirahat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah itu, pukul 23.00 semua urusan di rumah sakit pun selesai. Saya dan suami kembali pulang ke rumah dengan menggunakan taxi.
Selama isolasi mandiri di rumah, ada beberapa hal yang saya lakukan. Saya tetap menjaga jarak dengan suami saya dan benar-benar menjaga kesehatan. Beberapa yang saya lakukan adalah seperti:
- Tidak berdekatan atau menjaga jarak saat aktivitas di rumah
- Berpisah kamar untuk sementara waktu
- Menggunakan alat shalat (sajadah) berbeda
- Makan dan minum menggunakan barang yang terpisah dan berbeda
- Makan-makanan yang bergizi seimbang, memperbanyak sayur dan buah
- Minum vitamin tambahan
- Tidak mengkonsumsi atau membeli makanan dari luar rumah, kecuali yang sifatnya tertutup seperti biskuit atau camilan dan sayur atau buah untuk memasak
Saya pun juga diinstruksikan oleh kantor untuk bekerja dari rumah full selama dua minggu, walaupun kantor tidak full menerapkan WFH seutuhnya karena banyak pekerjaan kemanusiaan yang harus tetap dilakukan. Tapi untuk berjaga-jaga maka saya harus di rumah juga dua minggu.
Menunggu Hasil Test Swab
Berbeda dengan pejabat, karena rakyat sipil biasa, test swab pun tidak bisa langsung diberikan. Saat di rumah sakit, suami saya sempat bertanya pada perawat bagaimana nanti ia bisa tahu hasil test swab? Apakah akan dikabari ataukah nanti harus menghubungi? Jika harus menghubungi, maka menghubungi siapa?
Ternyata perawat tersebut juga tidak tahu pasti jawabannya. Ada yang bilang hubungi RS Fatmawati, ada yang bilang hubungi RS Pasar Minggu, ada juga yang bilang hubungi Dinas Kesehatan. Namun supaya berjaga-jaga pihak fatmawati pun memberikan nomer SPGDT pada suami saya.
Sampai dengan hari Kamis, hasil pun belum juga ada. Keluarga dan teman-teman sudah banyak yang menanyakan. Suami saya menelepon RSUP Fatmawati dan RSUD Pasar Minggu pun belum juga ada kabar.
Sampai akhirnya, di hari Jumat, suami saya mencari informasi lewat teman-teman jurnalis. Ada salah seorang yang memberikan nomor contact dokter, yang katanya sebagai Dirut di RSUD Pasar Minggu. Suami saya pun mengkontak dokter tersebut, namun ternyata si dokter sudah bukan lagi sebagai Dirut. Namun, dokter tersebut berbaik hati akan mencari informasi dan menanyakan lewat dokter yang menangani test swab di RSUD Pasar Minggu.
Sampai akhirnya dokter tersebut mencarikan informasi dan di malam hari disampaikan bahwa suami saya NEGATIF DARI VIRUS CORONA/COVID-19. Suami saya pun menanyakan tentang hasil test swab dari temannya yang jurnalis perempuan. Dokter tersebut pun mencarikan datanya, dan Alhamdulillah juga negatif.
Saya pun bersyukur sekali. Namun, walaupun hasilnya negatif sebagai upaya berjaga-jaga kami tetap melakukan upaya distancing. Sampai benar-benar aman minimal sampai dua minggu sejak test swab dilakukan.
Indonesia, Siapkah Melawan Corona?
Kalau teman-teman membaca cerita saya yang panjang lebar ini, teman-teman pasti akan menangkap bahwa sebenarnya pemerintah kita, Indonesia, belum benar-benar siap dan sigap menghadapi virus covid-19. Saya agak sedikit menyesal, kenapa tidak diantisipasi sejak awal kali virus ini ada dan benar-benar menutup berbagai aksesnya.
Terbukti bahwa ambulance gawat darurat masih minim, ruang isolasi terbatas, dokter terbatas, fasilitas juga masih belum maksimal, ditambah alur koordinasi pun (masalah pejaminan, masalah informasi hasil test swab) masih belum terkoordinasi dengan baik.
Terlepas dari itu semua, saya menghargai kerja keras para dokter, tenaga medis, dan seluruh pegawai yang ada di rumah sakit dalam melayani masyarakat. Tentunya itu butuh sebuah pengorbanan dan kekuatan hati.
Dari sini, saya ingin meyampaikan bahwa keterbatasan kita ini harus dipahami dengan baik. Walaupun pemerintah sekarang sedang menyiapkan berbagai fasilitas ekstra, seperti misalnya wisma atlet di Kemayoran, Rapid Test Masal, dan hal-hal lainnya, itu semua belum cukup kalau PDP dan Pasien Positif Corona semakin membludak. Tidak terbayang harus bagaimana lagi kerja tenaga kesehatan menghadapi hal ini. Ditambah, tidak semua masyarakat Indonesia terdidik dan mau bersabar untuk menghadapi berbagai kekurangan ini.
Jadi, tolong jaga kesehatan. Tetaplah di rumah kecuali ada hal penting dan darurat dilakukan bolehlah keluar. Tapi tidak untuk pergi keluar untuk mudik, jalan-jalan, apalagi sampai pelesiran keluar negeri seperti yang dilakukan pejabat-pejabat sekelas direktur BUMN di Cianjur.
Semoga cerita pengalaman ini bermanfaat! Jaga kesehatan diri dan keluarga, semoga Indonesia bisa segera melewati seluruh ujian ini.
Leave a Reply