Sejak tulisan ini diposting, sudah satu minggu saya menjalani puasa social media. Ya, saya meminimalisir untuk scrolling-scrolling di social media tanpa tujuan dan tidak membiarkan saya larut terbawa oleh arus algoritma.
Hanya sesekali saja saya mampir ke akun favorit. Itupun sekedar melihat apakah ada content update yang menarik untuk saya ketahui atau tidak. Lebih dari itu, bisa dibilang saya off dari hiruk pikuk timeline dan kehebohan dunia maya ini.
Kebetulan di tanggal 10 Oktober saya berulang tahun. Banyak ucapan yang masuk di instagram dari teman-teman terdekat. Tentu itu sebuah penghargaan untuk saya dan saya harus membalas ucapan doa dari mereka. Setelah 10 Oktober berlalu, intensitas membuka Instagram, Facebook, LinkedIn, Twitter, dan TikTok pun semakin berkurang.
Bahkan, saya juga mulai tidak mengikuti update apapun dari teman-teman yang saya ikuti akunnya di social media. Padahal ada banyak orang yang terkoneksi, mulai dari teman kerja, mantan teman kerja, teman masa lalu, para influencer yang saya ikuti akunnya, ataupun akun brand dan bisnis.
Bagi saya, orang-orang penting dan sangat berdampak bagi hidup, mereka akan berbagi kabar secara personal. Kita akan berinteraksi langsung via chat di whatsapp atau telegram. Apalagi kalau soal pekerjaan dan hal penting, pasti whatsapp, email, atau telegramlah yang akan digunakan.
Jadi, walau tidak membuka social media sekalipun, tapi hal terpenting dalam hidup tidak akan hilang.
Sebenarnya, ini agak bertolak belakang dengan pekerjaan saya di bidang pembuatan content digital, yang setiap harinya harus berurusan dengan social media. Entah harus memposting content, memantau content yang sudah diposting oleh team, memperhatikan kompetitor, analisa trend yang sedang berkembang, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang ternyata terlalu lama berada aliran timeline dan algoritma membuat saya lelah.
Yakin Bisa Mengkonsumsi Semuanya?
Sebenarnya, gak masalah sih dengan membuka social media. Apalagi, kalau kita disuguhkan content yang bermanfaat atau sesuai dengan bidang karir yang kita geluti. Tidak jarang juga kita dapat inspirasi dan manfaat dari hal tersebut.
Tapi sejujurnya, saya mulai merasa overwhelmed dengan semua itu.
Bisa dibilang saya terlalu berlebihan mengkonsumsi social media. Hampir 30 menit sekali saya membuka Instagram, TikTok, Facebook, LinkedIn, Twitter, bahkan terkadang Pinterest secara bergantian. Apalagi jika ada waktu senggang. Saat di kendaraan umum, saat menunggu air mendidih, saat bangun tidur, saat akan tidur, saat menunggu kedatangan seseorang, sambil makan siang, dll.
Kadang saya bertanya, kenapa saya ada di postingan ini? Kenapa pada akhirnya saya berada pada timeline ini? Apa hubungannya dengan hidup saya? Apa dampaknya untuk hidup saya? Kadang jawabannya, tidak bisa saya pastikan.
Awalnya mungkin ter-trigger melihat content inspiratif dari seorang teman, lalu berlanjut ke teman yang lain, tidak lama mampir ke content seorang influencer, lalu muncul iklan, klik iklan, keluar, dan berulang seperti itu dari content ke content.
Tidak jarang, setelah itu berlalu muncul overthinking, perasaan insecure, karena membandingkan diri ini dengan orang lain yang saya anggap lebih hebat. Begitulah yang sering terjadi.
Saya pun mulai bertanya, kenapa bisa seperti itu? Awalnya mungkin sekedar cari inspirasi untuk buat content, cari content yang saya sukai atau belajar dari banyak akun-akun ya ada. Tapi lama-lama social media bikin addict.
Ada perasaan selalu ingin tahu update terbaru, trend yang sedang berkembang, sampai akhirnya jadi kebiasaan. Di waktu yang luang pun, social media akhirnya menjadi sebuah pelarian.
Kalau dibuat sebuah analogi, mungkin saya menganalogikannya dengan makanan.
Bayangkan, kita ada di sebuah acara dengan sajian makanan yang bervariasi dan banyak sekali. Semuanya tampak lezat dan menggiurkan. Apalagi disajikan secara gratis.
Lalu kita makan satu persatu, tanpa sadar kita pun menikmati semuanya. Rasa penasaran mendorong kita mencicipi semua itu. Tak menunggu lama, perut pun rasanya penuh, ingin muntah, bahkan mungkin muncul rasa kantuk karena kita kekenyangan.
Ya, kita terlalu berlebihan mengkonsumsi makanan. Padahal, dalam satu waktu kita cukup dengan hanya makan 1 piring makanan berisi semangkok sayur, satu protein hewani, satu protein nabati, dan minum air mineral yang cukup. Tapi rasa penasaran dengan semua makanan enak yang tersaji, membuat kita mengkonsumsi berlebihan.
Seperti itulah kira-kira yang saya alami dari mengkonsumsi social media berlebihan. Terlepas contentnya bermanfaat atau tidak, tapi itu semua berlebihan.
Pada akhirnya saya menyadari bahwa mengkonsumsi pengetahuan dan informasi pun selalu ada batas-batasnya.
Tidak semua informasi harus dikonsumsi, harus kita ketahui, dan harus kita pahami. Tidak perlu juga kita tahu update instagram story teman setiap harinya.
Alih-alih kita ingin tahu kabarnya, malah akhirnya berujung jadi memikirkan kehidupannya atau membicarakannya dengan teman yang lain. Padahal belum tentu juga dia akan peduli terhadap hidup kita.
Kita juga belum tentu perlu mengetahui update terkini kalau memang kita tidak membutuhkannya. Untuk sekedar mencari inspirasi dan insight terbaru, rasanya tidak perlu dengan 30 menit sekali membuka social media bukan?
Pengetahuan dan informasi yang kita terima, butuh waktu untuk menjadi “sesuatu dalam hidup”. Butuh berpikir lebih dalam, mengkritisi, menyelami, bahkan hingga tataran perenungan.
Lantas kalau sebanyak itu yang saya konsumsi setiap hari, sedangkan proses merenung itu pun terlewati, akan jadi apa semua itu?
Ganti Kebiasaan
Setelah saya menyadari itu semua, saya pun mulai mengganti kebiasaan. Saya ganti kebiasaan berselancar di social media yang kadang membuat ketidakjelasan pikiran dengan suatu yang lebih terstruktur, sistematis, dan sesuai kebutuhan. Saya mulai intens untuk membaca buku dan artikel yang berkualitas.
Hampir satu bulan saya berlangganan Medium. Medium adalah salah satu platform yang dibuat oleh dua orang pendiri Twitter. Bagi saya, Medium bukan social media, mungkin lebih mirip dengan blog. Isinya banyak sekali hal-hal yang berkenaan dengan karir, bisnis, informasi di bidang tertentu dan self development.
Kebanyakan ditulis oleh orang-orang yang berpengalaman di bidangnya masing-masing. Informasi di medium lebih terstruktur dan sistematis. Yang menulis di sini memang niat untuk berbagi dan ketika membaca saya pun tidak terganggu dengan iklan atau content yang sekedar pamer. Kadang penulisnya menceritakan pengalaman kegagalannya disertai dengan learning yang dia dapatkan.
Setiap pagi, Medium mengirimkan saya email. Dia merekomendasikan 3-5 artikel terbaik yang menurutnya cocok dengan interest yang kita pilih. 30 menit kadang saya habiskan untuk membaca artikel Medium yang notabene berbahasa Inggris dari sumber-sumber terbaik dunia.
Setelah hampir satu bulan, saya merasa kalau membaca artikel seperti ini pikiran saya lebih terisi dan perasaan saya pun puas. Berbeda rasanya ketika berselancar di social media yang kadang berakhir pada hal yang tidak sesuai dengan tujuan awal.
Selain Medium, saya pun coba untuk mengganti berselancar di social media dengan membaca buku. Kebetulan, saya sedang mengerjakan sebuah project aplikasi bersama dengan seorang teman dan saya berkontribusi untuk menulis produknya. Senangnya, saya mendapat fasilitas akses gratis di Kindle.
Saya punya akses untuk membaca buku-buku terbaik (best seller) dunia. Saya gunakan kesempatan dan fasilitas itu untuk membaca satu persatu buku yang saya suka.
Saya membaca perlahan, berusaha mengkristalkan ide penulis dan isi buku. Entah apa itu namanya, tapi saya merasa mendapat banyak sekali pencerahan. Di satu titik membuat saya lebih sering merenung.
Sejujurnya, ada tumpukan buku di rumah yang belum saya baca. Bahkan buku tahun lalu yang saya beli di BBW pun ada yang belum saya selesaikan. Saya jadi tersadar kembali, mungkin ini terjadi karena saya terlalu sibuk dengan social media hingga melupakan buku-buku yang menumpuk di rak.
Yang Saya Rasakan
Satu minggu puasa dari social media memang bukan waktu yang lama. Tapi rasanya hati lebih tenang, pikiran lebih jernih, dan informasi yang saya dapatkan pun terbatasi. Kebiasaan ini akan saya lanjutkan.
Perasaan overthinking atau insecure seakan lenyap. Mungkin karena tidak ada pemantiknya. Saya pun lebih banyak merenung, memikirkan sesuatu yang jarang terpikirkan sebelumnya. Pikiran kreatif atau ide-ide baru terasa lebih original karena keluar dari hati dan pikiran yang jernih.
Itu yang saya rasakan.
Awalnya saya ragu, apakah bisa berpuasa dan mengurangi social media? Namun ternyata, I did it!
Saat pertama kali puasa social media, refleks membukanya tanpa sadar masih ada. Tapi segera saya sadari dan mengalihkannya ke aktivitas atau fokus yang lain.
Kini saya merasakan. Sepertinya benar apa yang disampaikan oleh para founder dan ekspert yang ada di film Social Dilemma Netflix. Social media ada agar kita betah untuk terus menerus berada di dalamnya dan mereka dengan mudah meluncurkan berbagai iklan yang mungkin saja kita akan tertarik dengannya.
Tanpa sadar kita didrive oleh hal tersebut.
Terus, Gimana Selanjutnya?
Tidak, tentu saya tidak akan menjadi anti social media.
Saya sadar kalau social media juga ada sisi manfaatnya, menjadi salah satu sumber penghasilan dan tentu bisa membuat saya lebih produktif dalam hidup, serta mendukung karir kalau bisa menggunakannya dengan mindful.
Untuk itu, ini yang akan saya lakukan:
- Membatasi diri dari social media. Hanya membuka social media di waktu istirahat dan akan tidur, selebihnya jika bukan untuk tujuan pekerjaan maka tidak akan saya lakukan
- Lebih intens mengkonsumsi buku dan medium
- Walaupun menikmati dan mengkonsumsi content yang orang lain buat, saya akan lebih banyak menghabiskan waktu menulis untuk diri sendiri dan menikmatinya sendiri.
Sejujurnya, sudah lama saya kehilangan waktu buat menulis untuk diri sendiri. Menulis yang memang berasal dari pikiran dan hati bukan karena urusan pekerjaan, sponsor, endorse, atau traffic. Menulis yang memang benar-benar untuk sebuah kenikmatan dan kebahagiaan diri sendiri.
Semoga dengan membatasi diri dari social media, kenikmatan tersebut bisa kembali lagi.
Saya bersyukur bisa merasakan dan menyadari hal ini. Akhirnya saya memiliki pengalaman tersendiri tentang bagaimana lelahnya berada di dunia maya tanpa tujuan jelas dan konsumsi berlebihan. Ini semua membuat saya tersadar harus lebih baik lagi untuk menjalani hidup.
Terima kasih untuk kamu yang sudah membaca curahan hati saya ini. Perlu saya tekankan, tulisan ini adalah refleksi saya sendiri. Tentu kamu tidak perlu sepakat dengan keseluruhannya, karena bisa jadi ada konteks yang berbeda dari kita masing-masing.
ngulik says
memang kita harus punya free time tanpa gadget atau sosmed ya..