Suatu hari, saya ikut webinar dari salah satu forum. Judulnya saat itu sangat menarik dan menggelitik, yaitu “Dinamika Psikologis Pasangan yang Belum Memiliki Anak”.
Waktu itu, tanpa pikir panjang saya pun ikutan dan ternyata ada kurang lebih 300 peserta. Pembicaranya saat itu adalah seorang psikolog yang juga sudah menikah dan belum dikaruniai keturunan padahal sudah bertahun tahun menikah.
Ada satu hal yang menurut saya on point saat itu. Narasumber ini bicara kalau mungkin saja saat ini kita sedih dengan keadaan ini. Tapi satu hal yang harusnya bisa dipahami oleh kita.
Dalam ilmu psikologis ada istilah remeaning yaitu memaknai lagi siapa sebenarnya diri kita. Kalau dalam Islam, konsep manusia adalah mereka yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Tidak melakukan kerusakan dan tentunya bisa membangun sosial yang baik.
Untuk bisa seperti itu, ada banyak peran yang bisa kita lakukan. Entah lewat karir atau pekerjaan kita, menjadi seorang anak yang baik untuk orang tua, menjadi istri yang mendukung suami, atau lewat peran peran lainnya di masyarakat.
Kadang kita terjebak di perasaan bersalah, terhantui oleh apa yang jadi standar hidup orang lain dan ketakutan-ketakutan yang tidak rasional. Padahal, tidak seperti itu seharusnya.
Memang tidak mudah menghadapi hal tersebut. Di forum yang saya ikuti saat itu, ada banyak wanita yang merasa dirinya tidak berharga, takut diceraikan suami, merasa dijudge oleh lingkungan, minder karena ga nyambung ngobrol sama teman-teman yang sudah punya anak, bahkan sampai pda titik keluarga pun selalu menghakimi. Seakan-akan pernikahan yang sejatinya untuk ibadah, tidak bisa mendapat berkah saat belum dikaruniai atau bahkan tidak bisa memiliki keturunan.
Punya anak bisa saja membahagiakan. Tapi bukan berarti yang belum dikaruniai tidak bisa bahagia. Sama hal nya seperti orang kaya apakah pasti bahagia? Belum tentu, tergantung apakah mereka bisa membuat pemaknaan hidup atas dirinya dengan baik. Begitu juga dengan yang belum dititipkan anak, bukan akhirnya tidak bisa bermakna dan bermanfaat bagi sosial. Bukan berarti juga menjadi pincang “perannya sebagai manusia” yang ada di muka bumi.
Dari sini saya bersyukur karena walau mungkin belum dikaruniai keturunan, tapi ada banyak berkah dan kebahagiaan lain yang bisa didapatkan. Suami yang satu pandangan, orang tua dan mertua yang menerima keadaan, dan pekerjaan yang juga membuat potensi diri saya tetap bisa tersalurkan untuk kebermanfaatan. Menurut saya ini sudah sangat lebih dari cukup sebagai rezeki dari Allah SWT.
Hidup manusia itu sangat kompleks dan unik. Masing-masing punya kondisi dan tantangan sendiri. Satu sama lain memang punya ceritanya masing-masing. Semoga kita bisa menemukan pemaknaan terhadap diri kita.
Leave a Reply