Hampir satu tahun setengah lebih, hidup saya seperti Whoosh. Super cepat, kilat, dan menuntut ketepatan dalam mengerjakan berbagai hal. Semenjak kuliah lagi mengambil studi magister ilmu manajemen di kampus terbaik negeri ini, kehidupan pun berubah cukup banyak, terutama dalam memanajemen aktivitas. Tuntutan pekerjaan sebagai manajemen akademik di satu sekolah digital di Jakarta, menjadi trainer-pengajar digital marketing, handle lebih dari 10 client di agency sendiri (tentu gak sendirian karena punya team), plus kuliah lagi (offline), menuntut kecepatan, fokus, dan mental tingkat tinggi. Pekerjaan rumah seperti memasak, bersih-bersih, hingga hal-hal kecil seperti belanja kebutuhan rumah tangga, sering kali terabaikan dan dibackup oleh layanan atau jasa rumah tangga. Ditambah lagi kebaikan hati suami yang mau membantu dan membiarkan saya untuk gak terlalu memusingkan hal-hal terkait rumah dan mendukung untuk fokus aja selesaikan studi.
Di satu sisi, ada kebanggan tersendiri dengan hal ini. Saya bisa multitasking, memikirkan banyak hal, memikirkan detail-detail pekerjaan, memikirkan nasib mentee dan murid saya, memikirkan banyak hal tentang team yang bekerja dengan saya, hingga client-client yang saya handle. Di perkuliahan sendiri, entah bagaimana ceritanya dorongan untuk memimpin, mengelola, mengambil keputusan di kelompok juga rasanya beban beratnya ada di saya. Jujur senang melakukan itu semua, walaupun kadang overwhelmed dan pusing sendiri harus memikirkan semuanya.
Sebenarnya, saya sudah menyadari bahwa menjadi orang yang multitasking seperti itu juga gak baik. Beberapa orang sudah sering kali mengingatkan saya hal ini. Pertama, suami saya. Dia bilang kalau kebiasaan buruk saya multitasking itu gak baik. Saya pernah mengerjakan dua hal sekaligus karena ingin semuanya cepat selesai. Saya merebus mie dan sambil mencuci baju dengan mesin cuci. Hilang fokus, setelah memasukkan baju semuanya ke mesin, saya ke kamar mengambil hp dan membalas whatsapp-whatsapp yang masuk. Saya lupa dengan rebusan mie yang ada di dapur. Alhasil panci pun gosong, mie pun kering. Suami saya memperingatkan saya karena tidak fokus mengerjakan sesuatu.
Teman kantor saya, juga pernah bilang, “Lo habis ini kurang-kurangin lah mikirin orang lain. Ga usah jadi seksi sibuk yang lo sendiri tuh udah banyak kerjaan dan kegiatan”.
Cerita Masa Lalu
Entah kenapa mungkin karakter dan sifat ini sudah ada sejak saya masih di SMA. Bayangkan, waktu itu saya sempat mendaftar banyak ekskul. Mulai dari KIR (Karya Ilmiah Remaja) karena waktu itu saya suka banget sama science dan anak-anak KIR ini sering banget bikin-bikin alat scientific hingga belajar IT lebih dalam. Waktu itu cita-cita saya sempet ingin masuk Fakultas MIPA atau Informatika ITB. Kedua, saya juga mendaftar jadi anak MPK (Musyawarah Perwakilan Kelas) yang membawahi OSIS. Alhasil, waktu itu juga saya jadi pengurus komisi dan sekretaris MPK sampai kelas 3 SMA. Setelah itu, masih belum puas saya juga daftar jadi anggota DKM (Dewan Keluarga Masjid). Semenjak kelas 2-3 saya pun menjabat jadi Ketua untuk Putri. Waktu itu sebenarnya saya juga mendaftar jadi anak paduan suara dan diterima. Tapi rasanya sudah tak sanggup dan takut akademik hancur, akhirnya saya putuskan untuk menghilang dari Padus.
Kurang lebih 3 tahun saya menjalani kehidupan SMA yang penuh dengan aktivitas ini. Alhamdulillahnya, urusan akademik masih aman saya masih bisa rangking 5 besar di kelas. Malah waktu pertama kali masuk SMA dengan kondisi masih kelas 1 dan semester pertama, saya belum banyak terlibat di ekskul saya malah stress dan akademik anjlok parah. Masuk 10 besar pun nggak. Waktu saya sibuk, justru saya happy dan akademik saya naik masuk ke 5 besar. Kebanggan ini saya bawa juga saat kuliah. Kegiatan organisasi, kesibukan di kampus, akademik tetap bisa saya imbangi juga.
Tapi mungkin akan berbeda cerita saat sudah berkarir dan usia pun semakin bertambah. Fokus hidup ada sangat banyak. Saya bukan lagi anak SMA yang fokusnya hanya belajar dan ekskul. Ada banyak tekanan hidup lain yang juga harus dipikirkan. Rasanya cukup lelah ketika semua keinginan dan dorongan untuk “take in charge” dalam segala hal ini harus dilakukan. Delegasi sudah coba saya lakukan, memanajemen team juga sudah dilakukan, memang seharusnya yang ada lebih “mindful” dalam segala tindakan. Rasa-rasanya saya harus merevisi dan memperbaiki diri untuk tidak selalu merasa bahagia dan bangga ketika menghandle banyak hal. Bahkan hingga urusan orang lain kadang masih harus ikut memikirkan pun, sepertinya harus sudah mulai dikurangi. Gak selalu kita harus bertanggung jawab atas segala kejadian, kan?
Kejadian Besar yang Mengingatkan untuk “Taking Slow”
Malam itu tepat tanggal 28 Desember 2024, saya melakukan checking account ads Meta saya. Ada satu akun yang saya sudah pakai lama, tapi ternyata masih restricted belum bisa digunakan. Saya coba check kembali karena akun ini cukup penting sebenarnya supaya bisa kembali beriklan dengan akun pribadi saya lagi, dan selama ini iklan saya meminjam akun orang lain. Saat itu saya berpikir dan melihat sekilas ada oustanding payment yang harus dibayar. Sekilas saya melihat adalah Rp16 ribu rupiah. Saya memilih Virtual Account untuk membayarnya dan langsung transfer. Ternyata saya salah, itu bukan outstanding payment, justru melakukan top up budget sampai dengan 16 juta ke akun yang sudah tidak aktif itu bahkan dananya pun tidak bisa dipakai untuk membuat campaign iklan apapun. Konfirmasi pihak Meta Ads, dana tersebut tidak bisa dikembalikan karena saya melakukan top up budget ke pihak Meta. Kebijakan mereka tidak ada terkait refund dari kejadian tersebut.
Saya sempat gemetar, panik, pasca malam itu pihak Meta menjawab hal tersebut. Saya mendadak mual muntah dan menangis hingga mengadu pada suami. Ia bilang, ya sudah gak usah panik dan marah. Nanti malah sakit. Pelajaran berharga: Kamu ga bisa ngerjain banyak hal di satu waktu. Fokus satu hal baru pindah ke hal lain. Saya menyadari bahwa saat itu memang saya melakukan banyak kegiatan 1 satu waktu. Mengurus akun dan transfer ke Meta Ads, sambil juga saya mengecek akun client yang lain. Semuanya dilakukan bersamaan bukan satu persatu.
“Coba untuk mindful kalau mengerjakan sesuatu. Kerjakan satu-satu jangan semua mau langsung dikerjain”, dalam hati saya berbicara sama diri sendiri dan baru menyadari hal ini. Kadang saya harus selalu berpikir cepat, cepat mengambil keputusan, cepat melakukan banyak hal. Padahal diri kita juga harus ada ritmenya. Tidak selalu harus fast, tapi slow sekali-kali untuk beristirahat.
Mungkin 16 juta untuk posisi finansial saya dan suami saat ini bukan hal besar yang membuat kami bangkrut atau kehilangan semua sumber daya. Tapi, ini pelajaran berharga. Uang jumlah tersebut bisa kembali mungkin dengan cepat 1 bulan saja dari sumber penghasilan kami. Tapi saya tidak ingin menganggap ini sepele. Apapun yang sudah kita lakukan harus bisa dipertanggungjawabkan. Mengingat banyak orang juga yang membutuhkan dengan jumlah tersebut.
Mulai dari Membersihkan Rumah
Pagi hari weekend di bulan Desember setelah kejadian besar kehilangan 16 juta, saya pun memutuskan untuk beranjak dan membersihkan rumah yang sudah berbulan-bulan belum saya lakukan deep clean. Saya menghilangkan sarang laba-laba di langit-langit rumah, debu-debu yang menempel di dinding hingga kaca, mencabut rumput depan rumah, membersihkan teras, membersihkan dapur yang debu dan bekas bumbu masak yang masih menempel karena lebih dari 4 bulan saya tidak memasak, merapikan dan menata kembali kamar serta tempat kerja, hingga ruang keluarga juga ruang tamu yang nampak lama tidak saya gunakan dan kotor.
Saat menyapu, mengelap, saya sadari gerakan saya begitu cepat. Seperti dikejar oleh sesuatu. Saya tarik napas dan berusaha untuk mindful. Saya pelankan gerakan, saya ikuti irama musik lo-fi, agar lebih tenang untuk membersihkan rumah ini dengan lebih pelan-pelan saja. Saya pikir ini adalah bentuk terapi dan healing dari hidup yang selalu fast. Dalam benak saya “Kenapa harus cepat-cepat? Tenang saja, selesaikan satu per satu. Kamu sedang tidak bekerja dikejar target atau ambisi apapun”. Biarkan mengalir, ikutin flow, dan lakukan hingga selesai.
Dari sini saya merasa bahwa ternyata taking slow dalam hidup juga sebuah tantangan besar bagi seorang yang fast move seperti saya. Tidak selalu hidup ini tentang target, tentang ambisi, tentang mengejar sesuatu. Menikmatinya, enjoying the process adalah bagian dari hidup yang juga perlu dilakukan untuk menyeimbangkan diri kita. Bukan saja fisik yang harus beristirahat, tapi juga pikiran juga mental yang perlu bersantai. Bagi saya ini gak mudah, tapi saya belajar untuk mengarah ke sana.
Leave a Reply