Dulu, karena berbagai kondisi, saya terbentuk menjadi orang yang sangat judgmental. Terlebih saat SMA, saya punya seorang kakak kelas laki-laki yang sangat saya figurkan sekali. Kebetulan beliau tergabung dalam beberapa organisasi dan ekskul yang sama dengan saya saat di SMA. Dia sering mengobrol intens dengan saya, bertukar pandangan dan pendapat. Karakternya yg idealis, penuh dengan visi, dan punya nilai-nilai yg kuat, membentuk dia menjadi karakter judgmental juga.
Karakter yg judgmental di masa lalu itu saya rasa sebuah kebodohan dan kenaifan. Bodohnya lagi, saya merasa bangga berbeda bahkan akibatnya dijauhi oleh beberapa teman. Saya dan kakak kelas saat itu juga sering kali mengobrol untuk membahas klaim klaim kita tersebut pada orang yang kita anggap salah dan berbeda, bahkan hingga menjauhi.
Semakin dewasa, saya menyadari bahwa judgmental itu ga baik. Kakak kelas saya tersebut juga mulai berubah. Lebih tenang dalam menghadapi masalah. Hingga kini saya juga masih kagum dengan cara pandangnya walaupun sudah lama gak berinteraksi hanya membaca lewat tulisan-tulisan di blognya.
Dulu, dengan pola pikir yang terbentuk dari pemahaman yang sempit, saya sering merasa bahwa cara saya yang paling benar dan paling baik. Namun, ketika saya mulai membuka diri dan belajar untuk melihat dari berbagai perspektif, saya menyadari bahwa setiap orang punya perjalanan dan pengalaman masing-masing yang membentuk mereka. Ini membuat saya lebih menghargai keberagaman pemikiran dan nilai-nilai yang ada di sekitar saya.
Sekarang, meskipun saya tetap memegang prinsip dan nilai yang saya anut, saya bisa lebih menghargai dan menerima perbedaan tanpa merasa perlu untuk menilai atau mengkritik. Dengan begitu, orang-orang merasa lebih nyaman untuk berbagi hal-hal yang lebih personal, seperti cerita tentang hubungan mereka atau bahkan hal-hal yang selama ini mungkin mereka rasa sulit untuk dibagikan.
Termasuk soal identitas gender, menyukai sesama jenis, atau bahkan pengalaman masa lalu yang buruk bahkan kelam dari seseorang. Ini adalah pelajaran besar bahwa terbuka dan tidak judgmental memberi ruang bagi orang lain untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dihakimi. Malah justru bisa menjadi ruang untuk berbagi kebaikan.
Mungkin ada beberapa hal berbeda prinsip dan value hidup. Tapi walau bagaimanapun sebagai manusia sesama manusia, saya tetap harus menghargai mereka. Berteman dengan yang dijudge LGBT oleh society, dengan penikmat miras, pecandu sex bebas, bagi saya bukan hal yg harus ditakuti, selama kita tahu dan pegang apa value diri kita sendiri. Terkadang tanpa harus menjudge, kita bisa memberikan masukan, diskusi dan bahkan menyampaikan hal baik dari versi kita untuk mereka. Selama berpegang teguh dengan apa yang kita yakini, maka klaim-klaim itu sebetulnya tidak selalu harus dilakukan, terlebih manusia dewasa punya rasional untuk memutuskannya.
Perubahan di masa kini, saya sadari bukan tanpa sebab dan alasan juga dorongan. Buku yang saya baca, orang-orang yg saya temui dan juga berbagai masalah yg pernah ditemui, membentuk diri yang jauh berbeda saat masa remaja dulu. Bagi beberapa orang “kamu nggak punya prinsip”, tapi bagi saya menghindari judgmental itu adalah sebuah langkah untuk menerima diri orang lain, menganggapnya sebagai manusia seutuhnya yang bisa mengambil pelajaran. Sikap ini bukan berarti kita membiarkan kemudharatan, tapi bersabar dan mencari waktu yang tepat, dan jika tidak bisa menyeimbangkan dampaknya: memang diam lebih baik.
Leave a Reply