Punya teman banyak banyak gak sama dengan semuanya jadi sahabat. Di dunia ini saya cuma punya 1 sahabat yg benar benar tahu siapa saya dan bagaimana aslinya kehidupan saya. Kami bersahabat sejak SMA di Bandung. Saya di SMA 5 dan dia SMA 8. Kami sebenarnya 1 tempat kuliah, tapi saya masuk duluan karena 1 tahun dia sempat ikut AFS dan pertukaran pelajar ke Amerika.
Mungkin saya agak sedikit berbeda dengan dia. Teman saya banyak. Sedangkan dia termasuk yang ga bisa mudah menerima orang lain. Tetapi, sebenarnya hanya dia yang benar-benar jadi “teman” bagi saya. Kami tinggal 1 asrama waktu S1 di Surabaya. Dan tahun 2016-2018 kami juga sempat ngekos bareng dan bisnis bareng. Dulu kita juga berada dibesarkan di organisasi yang sama walaupun sekarang kita sudah tidak ada di sana.
Kurang lebih mungkin sudah 15 tahun persahabatan kami. Mulai dari dinamika berkarir, percintaan hingga keluarga sudah sama sama mengetahui. Saking saling mengerti dan memahami, gak sulit bagi kami saling memberi nasihat dan saran.
Awal tahun 2023 saat staycation bersama salah satunya dia yang mendorong saya untuk S2 di saat saya masih ragu dan galau. Dia bilang, “Apa lagi yang kamu pikirin. Dengan pekerjaan sekarang dan financial seperti ini, bisa kan?”. Alhasil kami pun S2 bersama. Dia di SBM ITB dan saya di UI.
Awal tahun 2025 kami meluangkan waktu bersama lagi. Awalnya saya menceritakan bahwa rasanya berat dan seperti kehilangan sesuatu saat perkuliahan dan tesis ini selesai. Kenapa rasanya gak ingin meninggalkan kampus yah. Setiap hari rasanya ingin ada di lingkungan kampus, belajar, dan “ngulik sesuatu yang baru”. Jujur sedih dan masih ingin belajar lagi dengan berbagai tugas, jurnal, dsb.
Lalu dia bilang “Memang kamu dari dulu kan senang belajar. Gak sadar kamu 4 tahun kuliah dulu yang bikin kamu stress bukan ujian atau tugas, tapi kamu stress karena orang-orang nyebelin dan menyepelekan kamu. Udahlah 2 tahun cukup kamu besarin bisnis, target duit sampai cukup keluar dari company sekarang, cari beasiswa dan S3 langsung. Kamu harus jadi dosen. Pokoknya masuk ke akademisi dengan gak meninggalkan diri sebagai praktisi”.
She’s professional coach. Jadi fokus problem solving, visioner, dan mengamati sesuai kondisi udah jadi keahliannya.
Apa yang dia bicarakannya saya rasa semuanya benar. Saya emang sangat excited kuliah, ngulik sesuatu. Mungkin rasa excited ini gak semua orang merasakannya. Yang ada malah mungkin teman-teman di sekitar saya merasa tertekan, merasa diteror atau menganggap saya berlebihan dan ribet. Berpikir juga kalau saya terlalu ambisius. Padahal karena semua itu perasaan antusias dan senang mendalami sesuatu hingga akar-akarnya. Nilai memang jadi salah satu indikator, tapi perasaan menemukan sesuatu yang baru rasanya tidak tergantikan. Saya jadi kangen menemukan sparing partner, teman diskusi yang imbang, bisa brainstoarming bahkan berdebat untuk sesuatu yang ingin kita dalami. Mungkin pandangan itu karena mereka ga benar-benar mengenal dan memahami saya.
Yang memahami perasaan saya dan bisa mengimbangi itu hanya satu orang saja memang, yaitu sahabat saya ini. Malam minggu bersama dia, di rumahnya, saat kami tidur-tiduran di kamar saja kami bisa sambil berdiskusi teori manajemen stratejik sampai ketiduran. Padahal awalnya hanya bahas soal skincare tapi bisa bahas soal teori bisnis. Besok paginya bahas kembali dan ngalor ngidul hingga bahas kontribusi negara buat kehidupan pun bisa kita lakukan hahaha. Ini yang mungkin ga bisa dilakukan oleh banyak teman-teman lain.
Pembicaraan kami kadang serius. Tapi bercanda dan bergossip layaknya perempuan lagi juga bisa kami lakukan. Senang-senang bersama hingga sedih bersama juga bisa kami lakukan.
Memang tidak perlu banyak teman untuk buat kita bahagia. Satu saja tapi bisa memahami dan mengenali kita, that’s enough. Gak semua teman bisa jadi sahabat. Sahabat yg benar-benar sahabat, akan terus ada walau mungkin kita berubah banyak hal seiring waktu. Tapi intinya, dia akan menemani kita bertumbuh. Bukan membiarkan dan meninggalkan, tapi bareng-bareng bertumbuh.
Leave a Reply